NOVEL DI BALIK TIRAI MALAYA l KARYA ZAI
Oleh Muhlis Al-Firmany*
Cukup Membaca Sastra?
Untuk mengetahui kondisi masyarakat, cukup membaca sastra. Jika kita, misalnya, ingin mengetahui kondisi moral dan spiritual masyarakat Eropa di antara dua perang besar, maka kita tidak perlu bertanya kepada para sejarawan dan sosiolog. Bacalah sajak-sajak TS Eliot atau novel-novel Thomas Mann. Ingin melacak jejak Kolonial Belanda, novel tetrologi Pramoedya Ananta Toer hampir sempurna merekam di dalamnya. Ingin tahu mimpi para buruh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Tanah Harapan Malaysia, novel Tanah yang Retak (2002), karya M. Ali menyingkap gelap terang dan membuat geram siapa pun yang menjungjung tinggi hak asasi manusia dengan penindasan yang dialami TKI terutama buruh migran perempuan. Pun Di Balik Tirai Malaya (2021), karya Zai, hadir, hampir di wujud yang sama.
Mencari Gagasan Dengan Mudah di Lingkungan Sekitar
Saya akan menceritakan perjalanan menuju kabupaten Bangkalan, kemarin, (Jumat, 26/11/2021). Di Bangkalan saya akan mengambil tiga buah banner yang sudah saya pesan sehari sebelumnya. Pemilik percetakan itu adalah kawan saya sendiri. Ceritanya begini:
Selesai sholat Subuh, saya berangkat dari rumah (desa Gunung Sereng), kecamatan Kwanyar. Gelap masih menyelimuti jalanan. Embun dan udara pagi begitu alami. Tidak jauh dari kampung, tampak seseorang menandu bajak, di depannya sepasang sapi berjejer, menuju ladang. Hari ini, bajak sapi masih ada yang bertahan. Meski traktor menyeruduk zaman.
Jika sampai Pasar Sumur Kuning, anda akan dihadapkan pada dua pilihan: Kwanyar jalur kiri (selatan) atau Tanah Merah jalur utara (kanan). Saya pilih utara. Sampai Polsek Tanah Merah, ngiri. Di pasar Tanah Merah, sebagian pedagang sibuk menurunkan barang-barang, sebagian dipastikan sudah sampai sebelum jam tiga, nyubuh di lokasi: sajadah, sarung, mukena, sudah dipersiapkan dari rumah. Suasana demikian, merupakan bagian rutinitas orang-orang pasar. Jika masih ragu, silahkan cek langsung ke pasar terdekat di mana anda berada?
Setelah berhenti cukup lama di belakang pickup beratap yang menurunkan muatan, saya ikut bergerak maju. Dari arah barat, bus dan truk mematung. Di depannya, mobil carry berhenti sekenanya. Jika tidak macet, bukan pasar Tanah Merah, namanya. Saya lurus, jalan terus. Melewati desa Dumajah-Patemon hingga Burneh, tak ada hal baru, kecuali pematang sawah, dan bangunan-bangunan bertulis menu kuliner.
Sampai perempatan lampu merah dekat alun-alun kota Bangkalan, saya berhenti. Sebagai bentuk taat aturan, demi keselamatan. Keadaan lengang. Kendaraan masih bisa dihitung dengan tenang. Di antara remang-remang, tiba-tiba rombongan sepeda sport, kendaraan roda dua, dan empat terus melaju, acuh tak acuh dari belakang saya. Lampu dihianati, apalagi yang lain?
Dari alun-alun menuju Pasar Senen, dari lampu merah ambil jalur kanan menuju Pasarean Mbah Kholil. Lurus ke barat menuju perumahan Griya Utama 2 Blok E. Di sana tujuan utama sebenarnya. Pertemuan singkat: salaman, mengunyah tiga bulatan kecil biskuit, tanpa minum, basa-basi sedikit, ambil pesanan, bayar, pulang. 30 km lagi harus diulang untuk sampai kembali ke rumah.
Tidak semua peristiwa harus ditulis, dan akan memberi informasi edukasi. Tulisan akan menarik, jika diramu dengan baik. Cerita di atas, apakah cukup informatif sebagai bacaan berita atau bacaan sastra?
Menulis
itu Indah, judul
tulisan ini, saya ambil dari kumpulan 23 esai: Albert Camus, Gabriel Garcia Marquez, Jean Paul Sartre, dkk. Di
pengantar buku itu, ditulis: betapa peranan
sejarah menyisakan banyak hal, begitulah kiranya. Orang bijak bilang sejarah
memberikan pelajaran, menawarkan alternatif kebajikan. Yang buruk dari masa
silam dibenamkan, yang baik ditegakkan. Jangan menengok pada yang buram karena
hidup di kala mendatang memerlukan obor terang (2016: halaman V ).
Novel Populer dan Novel Serius?
Sastra adalah media laboratorium bagi penulis untuk mengungkap segala bentuk peristiwa manusia, dan kehidupannya. Meriset, mengkaji, menulis, lalu mempublikasikan, terjadilah wacana dengan berbagai kerja kebudayaan. Di antaranya ‘bedah buku’ dan sebagainnya.
Puisi, cerpen, prosa, bagian dari wahana penulis akan berlabuh kemana? Zai, jatuh pada pilihan novel. Di Balik Tirai Malaya, penulis membangun nalar dan logika. Nyata atau fiktif, ia sudah mencoba memindahkan kembali peristiwa-peristiwa menjadi penggalan-penggalan yang memuat tentang trafficking (perdagangan manusia), seksualitas, kekerasan fisik terhadap seorang perempuan, poligami, dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi sebuah tulisan.
Pencapaian sifat kepaduan tulisan di dalam novel Di Balik Tirai Malaya telah tersusun menjadi sejumlah bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda. Apa yang dikatakan Burhan dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, terjadi: hubungan antarbab, kadang-kadang, merupakan hubungan sebab-akibat, atau hubungan kronologis biasa saja, bab yang satu merupakan kelanjutan dari bab(-bab) yang lain. Jika membaca satu bab novel saja secara acak, kita tidak akan mendapatkan cerita yang utuh, hanya bagaikan membaca sebuah fragmen saja. Keutuhan cerita sebuah novel meliputi keseluruhan bab (halaman 14).
Zai, berada dalam dua ruang dan waktu yang terbatas. Memposisikan diri menjadi seorang migran, juga seorang penulis. Hanya segelintir dari sebagian orang yang akan memilih jalan ini. Tawaran-tawaran dalam tulisannya secara keseluruhan sudah memberi jalan informasi. Meski di sana-sini, ada logika umum yang harus dipertimbangkan ulang. Ada beberapa kosakata Malaysia yang dipaksakan untuk dipadu-padankan dalam tulisan.
Penulis, sebagai pencerita orang ke tiga, memang lebih leluasa menarasikan sudut pandang. Namun, jika lompatan-lompatan itu melampaui keserba-tahuan. pembaca kritis akan meneror dengan ragam pertanyaan. Tokoh-tokoh di dalam novel hendaknya dibiarkan dengan sendirinya, mengikuti alur cerita.
Sastra popuer adalah
perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam
serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan dengan
harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa
terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra popular
akan setia memantulkan kembali “emosi-emosi asli”, dan bukan penafsiran tentang
emosi itu. Oleh karena itu, sastra popular yang baik banyak mengundang pembaca
untuk mengidentifikasi dirinya (Kayyam, 1981: 88).
Novel serius di pihak lain, justru “harus” sanggup memberikan yang serba kemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan (Nurgiyantoro, 2010: 18).
Satra Populer atau sastra serius? Setelah Di Balik Tirai Malaya, Zai, ke depan, akan berdiri di mana?
Bangkalan, 27
November 2021
*
Muhlis Al-Firmany, Pembina Teater Paddhang Bulan. Pengajar. Penulis Buku Nuh
Kun Nun.
* Tulisan ini disampaikan dalam bedah buku Di Balik Tirai Malaya












Komentar