DUNIAKU MASIH ADA l HENTIKAN KEKERASAN PADA ANAK l PAMERAN LUKIS l IRIADI
Bila
sekolah sudah tidak lagi dipercaya sebagai tempat bernaungnya ilmu. Kemanakah
anak-anak bangsa akan melangkah? Maraknya kekerasan fisik maupun seksual
akhir-akhir ini telah membuat semua orangtua khawatir, geram, dan dihinggapi
rasa takut melepas anak-anak mereka untuk belajar, bermain, dan melakukan
aktifitas lain di luar rumah.
Sama-halnya
dengan orang-tua pada umumnya, kegelisahan di atas membuat seorang Iriadi, laki-laki
kelahiran Bangkalan 18 September 1962 ini, ingin mengembalikan citra dunia anak pada identitasnya---lugu, polos,
jujur, darisini akar letak kebebasan dunia mereka dimulai; belajar, bermain,
berekspresi. Maka obsesi itu, ia tuangkan dengan cara melibatkan langsung beberapa
karya peserta didiknya di SMA Darul Kholil Burneh Bangkalan-Madura ke dalam
spirit pameran instalasinya yang bertajuk “DUNIAKU MASIH ADA”. Tak
ayal jika pamerannya begitu banyak menarik simpatisan beberapa pengunjung
(khususnya anak-anak) yang melintasi jalan raya Junok menuju arah kota
kabupaten Bangkalan Madura.
Dengan kemasan
sederhana, di pinggiran trotoar dan taman sempit, perupa ini dengan ramah
selalu menyalami, melayani pengunjung yang bertanya atau hanya sekadar mampir
foto-foto, bahkan sebagian ada yang mengira bahwa kolaborasi pameran
instalasinya merupakan arena baru bermain anak-anak yang sengaja dibuat oleh
pemerintah setempat.
Batik:
Kritik Simbolik
Dengan popularitas
batik yang diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya, lantas tidak hanya terhenti
pada kata “bangga”. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai luhur lokalitas
merupakan kewajiban bagi generasi selanjutnya. Pengamatan serentak atas seluruh
jenis batik yang ada di nusantara sangat beragam coraknya: Solo, Pekalongan, Madura,
maupun penghasil batik di daerah lainnya menunjukkan Indonesia betapa memiliki
kekayaan tiada tara. Tinggal bagaimana mengolahnya?
Olahan batik
itu, yang kemudian direkonstruksi oleh Iriadi ke dalam bentuk lilitan pada
pohon-pohon taman. Pohon-pohon tidak hanya bermakna memberi keteduhan pada bumi
dan manusia beserta mahluk lainnya. Namun, Iriadi memberi tafsir berbeda:
pohon-pohon saja sudah sepatutnya dipakaikan baju, bukan sebaliknya busung
lapar masih menimpa negeri yang katanya memiliki jutaan kekayaan alam?
Kritik simbolik
yang lain dari pohon itu, ia interpretasikan layaknya manusia. Harus dihargai.
Dirawat semestinya, bukan untuk dilukai, dililit, dicekik oleh atribut partai beserta
wajah-wajah calon kandidatnya yang diusung sebagai pemimpin bangsa. Seruan
perupa ini tak lain agar kita semua mencintai alam semesta.
Iriadi,
lompat keluar dari persoalan hidup yang muak menuju hidup damai. Kedamaian itu
ia temukan, di saat anak kecil yang sedang melintasi pamerannya meminta
orangtua mereka untuk menghentikan kendaraannya. Kemudian si anak itu bermain
di antara 500 burung kertas, 500 replika bebek, 100 layang-layang, dan lukisan
tong sampah yang disulap dengan beberapa motif bunga, pemandangan, dan animasi kartun hasil
goresan anak-anak didiknya.
Di usia
yang tak muda lagi, laki-laki bernama lengakap R. Fajar Iriadi. Lulusan ISI
Jogjakarta 1989 ini selalu mengajak genearasi muda lainnya untuk terus berkarya,
tak ada kata mundur selangkah pun untuk terus maju melawan hiruk-pikuk politik,
arus media, dan kerangka peradaban ke depannya. Besar harapan, bila
perupa-perupa lainnya menyambung pameran selanjutnya.
Pencahayaan
yang cukup. Konsep artistik yang matang. Tempat dan ruang serta lokasi yang
nyaman, barangkali suasana ini adalah impian semua perupa di setiap mengadakan
pameran? Kali ini, Iriadi menghindari konsep ini. Terik matahari, mendung, dan
hujan menjadi bagian cahaya yang silih berganti merubah suasana pamerannya yang
berlangsung selama lima hari tersebut. Bila malam tiba, beberapa lilin nyala di
antara payau lampu-lampu jalanan, lampu-lampu kendaraan, serta obrolan ringan
beberapa seniman lainnya hingga larut malam.
Estetika
alam, cukup mendobrak, mengajak masyarakat awam (khusunya masyarakat Bangkalan)
untuk terlebih dahulu mengetahui, mengenal, kemudian mencintai, dan masuk ke
ranah seni yang lebih esensial lagi.
Meski
tidak utuh, fragmen-fragmen yang ditampilkan Iriadi dan beberapa peserta
didiknya membuka ruang pikiran, membuka sekat-sekat mata-rantai kehidupan,
bahwa, alam masih memiliki harapan, alam masih terbuka lebar menuju kehidupan
lebih baik.
Di antara
instalasi kayu-kayu tua yang dieksplorasi sebagai medium gugatan terhadap
pembangunan-pembangunan infrastruktur yang tidak diimbangi oleh penghijauan
alam, penebangan pohon-pohon menjadikan alam kian gundul, segmen penutup
menjadi aspek terpenting dalam pameran instalasi Iriadi dan beberapa peserta
didiknya, pembacaan puisi mulai dari tingkat anak-anak SD hingga seniman muda dan
tua memeriahkan ending pameran ini
(29/04).
Berbagai
komunitas seni yang ada di Bangkalan cukup memberi apresiasi hangat sebagai
bentuk eksistensi bahwa kesenian di Madura masih bernafas?
Bangkalan, 30
April 2014








Komentar