IDAYATI I CERPEN I BATAM POS
Idayati, namaku.
Arti nama ini,
kutemui dikemudian hari. Idayati, aroma nafas pulau Bali lekat di dalamnya. Aroma
pulau penuh kenang: indah juga menyakitkan. Sebab-musabab mata rantai berputar.
Bunga-bunga cinta berpendar. Pudar di sana.
**
“Biar aku yang
merawat anak ini…” seru Mama sambil menarik lengan kecilku. Tangisnya histeris.
Laki-laki di dekatnya: suami dari mamaku sekaligus papaku juga tidak mau kalah,
ia pun sesegera mungkin menarikku. Aku menjerit. Pertengkaran hebat diantara mereka
begitu membekas di hati.
Aku ingat… Ingat
sekali!
Merekam jejak-jejak masa kecil,
tawar rasanya. Di pulau julukan surga dunia,
papa beristri lagi. Status mama Singgle parent. Setelah perceraian itu,
mama memberanikan diri menantang beringas kejamnya Ibu-kota. Semata-mata demi masa depanku. Perjalanan hidupku bergulir
seperti bulir-bulir padi bergantung pada sesungai di kampung ini: kampung di mana
aku diasuh oleh Mbah-eboe’1
dari mamaku.
***
“Malaikat kecilku, ayo bangun!!”
“Sebelum
berangkat sekolah, jangan lupa sarapan, sayang...”
Mama tetap memanjakanku hingga
seusia remaja ini. SMS darinya menjadi asupan energi setiap pagiku. Aku harus
segera beranjak dari tempat tidur. Menuruti semua petuah mama. I love u Mom, balas sms singkat-ku.
Di depan kelas, hari ini guru baru
menyihir kami. Kami dibuat kagum. Kami ditarik kembali pada masa-masa lampau. Ia
buka pertemuan dengan perkenalan sebuah cerita nenek moyang kita pelaut.
“Namamu siapa?” Kini, giliranku
mendapat pertanyaan guru baru.
“Idayati, Pak !”
Debar jantungku seperti berada di tepian jurang. Curam. Mengerikan. Mukaku tak
dapat kusembunyikan. Semerah kepiting rebus.
“Idayati…” Guru baru itu
manggut-manggut. Tenang. Tetap berwibawa.
“Pernah tinggal di Bali?” Tebakan
yang tepat. Aku tersenyum.
“Kenapa, Pak?” Sahabatku penuh
penasaran.
“Bapak, kok tahu?” Timpal sahabat yang
lain.
“Ida, yang berarti golongan
Brahmana di Bali. Hayati itu sendiri berarti kehidupan. Jika disatukan: Idayati berarti kehidupan golongan para
Bramana!!” Papar guru baru. Aku tertegun. Selama ini aku tidak pernah berpikir
kesana. Mama tidak pernah memberi penjelasan pasti, bahkan nyaris tidak pernah
menyinggung soal arti nama.
Fadilah, Asiah,
Anisah, Maryati, Sakdiyah, nama-nama ini begitu akrab kita jumpai. Familiar
disini. Aku terasa asing. Ada lorong yang jauh. Ada sekat pembatas. Tapi, aku
yakin mama tidak sembarang asal memberi nama. Sedikit kuingat pelajaran sejarah
di kelas, kasta Brahmana merupakan bagian kasta tertinggi dalam sebuah agama
tertentu. Tentu mama berharap supaya hidupku berhasil menjulang setinggi
mimpi-mimpinya. Mungkin itu maksud mama memberiku nama Idayati.
“Ada cahaya
pelita di hadapanku. Aku di buat terkesima hari ini, Mama…”
***
Malam ini, ruanganku penuh wewangi.
Ada yang beda. Ada yang membuatku untuk lebih dewasa. Guru baru itu telah
membuat puing-puing hidupku menyatu kembali. Makan, mandi, kamar, TV, aktivitas-aktivitas
menjenuhkan selama bertahun-tahun ini seketika berubah. Ada yang menuntutnya
lebih indah.
Majalah yang kubeli seminggu lalu
saat berlibur dari rumah papa di Bali, kubuka kembali. Daftar isi kutelusuri,
iya, di halaman 42 tertera judul ciri-ciri orang jatuh cinta, diantaranya, orang itu akan terlihat selalu ceria.
Ramalan zodiak juga tidak luput dari incaranku (LIBRA, asmara perlu sabar,
sebab tidak semuanya berjalan mulus). Apa yang terjadi pada diriku?
Mungkin salah. Bahkan sulit dinalar
oleh logika. Gemuruh perasaan tak dapat dipungkuri. Setiap guru baru itu
bercerita: ada kesejukan. Ada kedamaian. Kepandaiannya berdongeng sering
membuat kami di kelas kekurangan waktu dan terus meminta untuk melanjutkan
semua kisah-kisah yang dimilikinya.
Saban hari kalori perasaanku terus
melonjak tajam. Tekanan darah tidak stabil. Kadang cemburu datang tiba-tiba. Tidak
jarang guru baru itu kupergoki sedang duduk di kantin dengan teman-teman lain kelas.
Perasaanku bercecamuk, marah tanpa sebab.
Suasana waktu terus berubah. Atau
hanya perasaanku saja? Aku tidak paham? Guru baru serasa kian cuek-bebek. Memang beginikah sikap
seorang guru ketika harus mengayomi semua anak didiknya hingga harus sesegera
mungkin mengalihkan tatapannya dari satu ke yang lain pada saat menghadapi setiap
lawan bicara?
Bagiku tidak penting! Aku ingin
tatapannya sepenuhnya untukku. Tapi, ia benar-benar berubah. Bukti nyata
terlihat dari senyum paksa di setiap pertemuanku dengannya. Menunggu. Menunggu.
Dan menunggu! Aku pasrah. Sejauh ini, tak ada tanda-tanda guru baru itu untuk mengenalku
lebih jauh.
“Ini, Pak!..” Di hadapanku, semua
anak-anak menyuguhkan HP untuk sekedar meminta account FB-nya.
“Tri.com” Baca ulang teman-temanku.
“Di konfirmasi ya, Pak?”
“Iya!!”
Dadaku sesak. Aku tidak tahan.
Inginku lekas beranjak dari lingkaran meja kantin. Mimpi berlebihan, memang
menyakitkan. Aku pulang penuh kemarahan.
***
Hujan lebat. Barangkali karena geomorfologi
desa kami yang gambur dan dialiri oleh sungai yang selalu hidup baik musim
kemarau maupun hujan. Maka nenek moyang kami lebih memilih membuka lahan
permukiman yang tepat disini. Meski rumah-rumah tradisional hampir tidak
ditemukan lagi. Namun, nuansa pedesaan masih sangat terasa. Langgar kayu,
rumah-rumah kayu berasitektur adat lama, serta sungai dan rerimbun pepohon
bambu masih sangat alami mengelilingi wilayah kami.
Luberan sungai
di belakang rumah terdengar begitu dahsyat. Luapan membuncah. Malam ini, hujan
membuat meringis ketakutan. Kedap-kedip petir menciutkan kegetiran. Menusuk kesendirian.
Hampa. Membayang segala yang ada di depan mata. Berusaha membuang segala yang
kurasa. Tapi tak kuasa.
Ingin kuteriakkan pada dunia. Bahwa
tak ada cinta dalam kehidupan. Kenapa harus ada pertemuan, bila harus mengalami
perceraian? Mamaku adalah korban. Diriku adalah korban. Inginku dicintai, bukan
mencintai.
Keadaan menundukkanku dalam
ketidak-berdayaan. Meski hukum interaksi sebagai proses sosial yang sering kubaca
dalam mata pelajaran sekolah. Aku tidak mempercayainya. Siapa yang akan
mendengar keluh kesahku? Penderitaanku? Di mana bukti teori buku-buku yang
mengatakan interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi dalam hubungan timbal
balik antara indivdu dengan indivdu lainnya atau individu dengan
kelompok-kelompok masyarakat.
Ah,,, semua hanya materi pelajaran. Cerminan
pendidikan kita terlalu banyak kepentingan. Di hadapan siswa, tugas pengajar
apakah cukup hanya menyampaikan teori? Sehabis itu selesai sudah, tanpa tahu
individu masing-masing anak. Kami butuh sandaran. Pegangan kuat. Tidak centang
perenang. Seperti buih di lautan.
“Ida !!……” Panggil Mbah-eboe’.
“Iii.. Iya, Mbah” Aku terperanjat.
Segera kuhapus air-mata.
“Ida….”
“Ada apa, Mbah?”
“HP-mu dari tadi bunyi. Angkatlah,
siapa tahu Mamamu!!” Di daun pintu mbah-eboe’
berdiri. Berbungkus kain putih. Mukena di tubuhnya belum ia lepas. Ia sodorkan
HP yang aku cas di amper dalem2.
“Kalau Mamamu telpon, bilang; Mbah
baik gitu”
“Iya Mbah!” Pintu kututup lagi. Aku
kembali rebahan. Kulihat lima panggilan tak terjawab, (Fani) mantanku.
Menyebalkan. Aku lempar hand-phone ke
sampingku. Benda itu berdering kembali. Aku tekan tombol reject untuk mematikan dering panggilan darinya. Aku enggan menanggapinya.
Besok UAS (ujian akhir semester). Jam 06.30 Wib masuk. Aku tidak boleh telat.
Peraturan baru telah berlaku di sekolah. Berjalan jongkok seratus meter di
halaman sekolah adalah hukuman paling memalukan. Beban mental harus ditanggung
apabila melanggar peraturan tersebut.
Kulihat jadwal
yang akan diujikan besok. Jam pertama, mata pelajaran guru baru. Pikiranku gundah.
Kulit sawo-matang. Mata tajam. Suara lantang. Elegan. Dan senyum yang menawan
lagi-lagi membuatku terkenang. Nada dering “sesuatu”
milik syahrini berbunyi. Nomor baru. Pasti seperti nomor-nomor iseng yang biasa
numpang lewat di hand-phone-ku. Dengan malas SMS, kubuka:
pelangi itu
kuandai
bentuk kangenku:
aku di ujung
sini
kau di ujung
sana
ada pertalian warna
ada pertalian warna
juga rasa
bergelora.
kukenang:
kapan kali
pertama
kita bertatap mata
kita bertatap mata
lalu, jatuh
cinta?
Puitis. Romantis. Tak pernah ada
kalimat seindah ini hinggap di hand-phoneku. Aku penasaran.
“Siapa?” Balas singkatku. Tak lama
berselang. Balasan datang.
“Guru baru SENI BUDAYA”.
Bangkalan MADURA JAWA TIMUR, Juni 2013
1 Embah-eboe’: panggilan untuk Mbah/Nenek
bagi sebagian orang-orang Madura.
2Amper dalem: ruang tamu.








Komentar