FEESTIVAL SENI BUDAYA BANGKALAN l NASKAH LAN BULANAN l KWANYAR
SENI PINGGIRAN
DALAM FESTIVAL
KESENIAN
Kearifan Lokal
Bangkalan 2019
Boleh bermimpi
tinggi, asal mampu mengukur diri. Tanggal 24 Oktober, merupakan hari jadi kota
Bangkalan. Rentetan acara diselenggarakan, dilombakan, disajikan dengan
berbagai bentuk konsep. Meskipun konsep itu masih bersifat seremonial; ngambang
di permukaan. Belum menyerap pada akar dari sebuah tujuan, yaitu nila-nilai
luhur dan menjadi selimut atas kearifan lokal itu sendiri.
Tahun-tahun
sebelumnya, ranah seni-budaya dikemas Kirab
Budaya, tahun ini, dikemas Festival
Kesenian Kearifan Lokal, dengan porsi “Pertunjukan”. Pengalaman dan pemahaman
tentu akan berbeda antara peserta satu dengan lainnya, karena setiap daerah
memiliki pelaku seni (konseptor) yang berbeda-beda pula, pun sejatinya diantara
mereka terdiri dari para pelaku tua-muda yang sudah memiliki jam terbang
tinggi, begitu sebaliknya, ada yang jauh tertinggal gerbong atas perkembangan
kaidah-kaidah pertunjukan modern.
Fatal di
lapangan? Yang pasti, membuka tangan lebar-lebar atas kritik saran itu lebih
baik.
Penyelenggara
Festival Kesenian
Acara ini diadakan oleh Dinas
Kebudayaan Dan Pariwisata Bangkalan, dengan tajuk Eksplorasi Nilai Budaya Dalam Dunia Digital. Mengulas tema ini dan
mengaitkan satu persatu setiap sajian pertunjukan tidak cukup dalam satu
halaman kertas. Tak ada asap, bila tak ada api. Tak ada acara, bila tak ada
penyelenggara.
Bangkalan terdiri dari 18 Kecamatan.
Jumlah ini dipaksa untuk tunduk pada waktu. Semalam selesai. Mayoritas garapan peserta
didominasi oleh cerita legenda, mite, sage, dan cerita kearifan lokal lainnya.
Dengan batas maksimal 10 menit, area panggung 6 x 8 meter luasnya, 2 meter
tingginya, tidak sedikit peserta yang kewalahan mensiasati properti yang
dibawanya, bahkan durasipun mangkrak 15 hingga 20 menit. Penyelenggara sudah
mengetok palu. Ukuran panggung dan waktu sudah ideal atau belum? Bila teori dan
lapangan tidak seiring dengan kenyataan, apa boleh dikata. Konseptor, juri, dan
pekerja seni, tentu sangat paham dengan jawaban ini.
Di kertas, penulis
naskah membangun kekuatan watak, waktu, dan ruang. Di lapangan, sutradara dituntut
mengolah, menaklukkan keadaan.
Antara
Meraba-raba dan Tidak tahu: Peserta Vs Juri
Hari Rabu, 30 Oktober 2019, jam 19.30
menuju 20.25 Wib, acara baru dimulai. 55
menit jadwal bergeser molor. Peserta dan tim delegasi kecamatan sebagian sudah
datang sejak sore hari. Bersiap-siap diri dengan membawa semangat dan
mimpi masing-masing. Mereka berkumpul. Kostum,
make-up, properti, survei panggung dilakukan. Kadar dan teknik dari berbagai
peserta untuk menjadi yang terbaik bervarian.
Ke’
Lesap, Pangeran Tenga, Patih Macan Putih, 10 Sombher Somor, Sate Na Mera, Lan
Bulanan, judul-judul ini datang dari nun jauh disana; membawa estetika
cerita, menawarkan pola warna untuk merebut ekspektasi panggung demi prestise wilayah
masing-masing (Kecamatan). Di sudut sana, juri memiliki selera mengikat dan
tidak bisa diganggu gugat.
Poin penting
acara ini bisa mempersatukan banyak
orang serta ragam gagasan dalam satu wadah bernama kesenian. Di luar itu, kepentingan-kepentingan lain tampak remang-remang.
Post
Alternatif: Seni Terpinggirkan
Juklak-juknis acara diatur dalam
lampiran-lampiran kertas. Dirapatkan agar aturan main sesuai harapan.
Penyelenggara, seniman, juri, masyarakat, merupakan komponen pelestari
dasar-dasar kerja kolektif demi satu capaian nilai-nilai adi luhung:
kebudayaan.
Jika, penyelenggara bekerja karena
tuntutan anggaran Negara, masih adakah ruh budaya? Jika seniman berkarya untuk
eksistensi nama belaka, atap rumah budaya akankah bertahan lama? Jika juri bekerja
demi kontrak penghasilan, masih kuatkah penyanggah rumah budaya? Jika masyarakat
apatis terhadap budaya, lenyap sudah semuanya?
Dilokasi, roda
dua dan empat banyak berbalik arah: masyarakat tidak tahu bahwa jalan yang akan
mereka lalui tertutup oleh acara Festival
Kesenian Kearifan Lokal Bangkalan 2019. Miris.
Bangkalan,
November 2019













Komentar