SEHIMPUN PUISI OPUS 154 l TIMUR BUDI RAJA


Menelisik Jejak Sehimpun Puisi:
Timur Budi Raja dalam Opus 154



Pandangan Umar Kayam bahwa kita belum memiliki konsep kebudayaan sama sekali dan kebudayaan kita masih ‘cakar ayam’. Bahkan ia menambahkan “kebudayaan nasional merupakan kebudayaan baru yang muncul dari ekspresi paling mutakhir yang dihasilkan dari adaptasi budaya etnik secara terus menerus.” Hal ini dibantah oleh Nunding Ram: ditinjau dari cara pandang Barat, yang tolak ukur utamanya adalah ekonomi dan iptek, barangkali kebudayaan kita masih berada pada taraf ‘cakar ayam’ atau underdeveloped, suatu istilah yang sangat diskriminatif. Tetapi, bukankah kebudayaan tidak hanya mencakup ekonomi dan iptek? Bagaimana dengan keanekaragaman sastra, ragam seni lain dan spritualitas yang dimilki setiap etnik di Nusantara? Menggunakan istilah ‘cakar ayam’ untuk menyebut kebudayaan sendiri bukan tidak mustahil akan menggiring banyak orang, khususnya generasi muda, ke penyakit rendah hati atau ‘krocojiwo’, suatu istilah yang pernah digunakan Bakdi Sumanto (Ram, 2005: 67). Lantas, apakah kita (yang merasa pemangku kebudayaan) akan mengiyakan atau menolak debat pendapat di atas?
Sebagai bentuk usaha kontrol budaya adalah hal tidak mungkin para pelaku kebudayaan (penyair khususnya) tidak ikut serta menetralisir keluar-masuknya sistem serangkaian aktivitas masyarakat. Situasi dan kondisi ini akan melahirkan setiap penyair merumuskan hidup dan rancangan kedepan, tidak hanya sekadar berupa harapan imaji, tapi usaha mengkongkretkan gejala dan dampak realitas, maka dengan ini puisi ada. Muara filsafat bermula. Pada akhirnya berbagai perspektif terjadi. Komunikatif. Tahun ke tahun menyetubuhi tubuh diri sendiri.
Pernyataan Afrizal Malna, bahwa, Yang mungkin dilakukan penyair adalah masuk lebih jauh lagi ke dalam dunia personal mereka. Mencari mata air paling jernih dari yang bisa ia dengar dalam tubuhnya sendiri. Atau melakukan kegilaan baru melalui berbagai elemen yang dikandung media puisi itu sendiri. Tidak percaya pada bentuk-bentuk, tidak percaya pada nama-nama, anarkis terhadap apa pun yang akan membawanya menuju sorga. Kegilaan tidak takut menjadi gila itu sendiri.
Inilah yang terjadi di dalam antologi Opus 154 karya Timur Budi Raja. Sesegera mungkin kita akan dihadapkan pada potongan kenang. Sederetan judul dengan penceritaan lugas, sederhana. Identitas kota pun tergambar dengan perangai mencekam, buram, dan kegagalan sebagai tempat rekontruksi ragam bangunan pertarungan hidup, cinta, dan sebagainya. Sumenep, lidah wetan, lombang, sepudi, dan pelabuhan Kamal telah membuat dirinya hening di tengah keramaian: di bibirmu yang tak sepi itu/ orang-orang membuka riwayat tentang garis nasib yang keras (hal 46).
Bangkalan, tanah kelahiran Timur juga tidak terlepas menjadi sorotan mengerikan. Seperti ada rahasia tersembunyi. Politik tidak sehat. Penyalah-gunaan kekuasaan. Semua terekam. Kekuasaan seolah-olah dijadikan sisir untuk merapikan rambut gimbal, kotor, dan membahayakan kelangsungan tirani aristokrasi: Ia menyeka kegusarannya kepada tanah yang membuatnya menderita/Ia biarkan gerimis semakin melaksa lagunya/tapi sekali lagi, halilintar kembali melingkar-lingkar di dadanya/mengeraskan nyeri/pahit-pahit ditelannya (hal 92).
Pendek kata, Timur, asing di tanah sendiri. Pertarungan ideologi dan kenyataan sosial tidak sejalan. Pergolakan batin terjadi. Sunyi, melemparkannya pada pengelanaan panjang. Dari satu tempat ke tempat lain. Raut muka negeri yang sempoyongan ini butuh asupan suplemen penambah energi?
Meski corak Madura hanya berupa fragmen-fragmen singkat. Pertarungan batin terhadap geografis politik yang ganas. Opus 154 telah menjadi bagian keabsahan data, publik jiwa, yang tertampung sedemikian panjang antara tahun 1997 hingga 2012, pergumulan kontemplatif (renungan) di dalam antologi ini patut diapresiasi.
Dan, seorang penyair, sebagaimana seniman yang lain, tentu akan mengalami evolusi estetik seiring berlalunya tahun-tahun dalam pencariannya. Ini adalah sebuah keniscayaan yang akan terjadi pada setiap seniman yang nafas produktifnya panjang, mulai dari masing-masing personal The Beatles sampai Sitor Situmorang: pernyataan K. L. Junandharu dalam menyoal Beberapa Catatan Sederhana Tentang Penerbitan Ulang Antologi-antologi Puisi Afrizal Malna.
Kini, evolusi estetik di atas kembali terjadi: 2006, Aksara Yang Meneteskan Api, antologi puisi pertama Timur Budi Raja terbit. Nyaris seluruh puisi di dalamnya ikut serta bersama karya-karya terbaru lainnya ke dalam antologi puisi ke dua Timur Budi Raja  Opus 154. Lalu apakah kita akan menyayangkan semua ini sebagai pembaca?
Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Afrizal Malna, adalah penyair yang melakukan hal serupa dengan perevisian puisi, jauh sebelum apa yang dilakukan Timur saat ini. Semoga jejak-jejak ini, bukan alasan penulis untuk tidak berkarya lagi, bukan?




Bangkalan, November 2012





Komentar

Postingan Populer