LIPSTIK I CERPEN
Lipstik
“Muuaacchh...” Sisa lipstik itu masih terasa.
Dua bulan lalu, ia datang menemuiku
untuk kali pertama di sebuah kamar kecil, diantara himpitan bau-bau amis,
sungai mampat; sisa sampah-sampah penduduk kali Jarum.
Aku ingat betul.
“Kau naik apa?”
“Becak” Kerut dahinya membayangkanku
pada mendiang ibu.
Softex, tisu, dan kaleng minuman, baru
saja terlempar dari kamar sebelah, nyangkut di hadapan kami. Dingin kami.
Dingin yang menimpali wajah kami di daun jendela. Kusam. Karat. Tak terawat.
Sungai Jarum di belakang kamar itu adalah
anak sungai Benang. Konon, ketika keadaan lengang dari pantauan tentara
kolonial Belanda pada masa penjajahan, sungai itu dijadikan lintasan para
pejuang pulau seberang menyelundupkan senjata-senjata pada malam hari dengan cara
menyimpan di balik tumpukan sayur di atas sampan milik para pedagang sayur di
kota itu.
“Praakk..” Lamunan kami buyar.
“Kau harus bertanggung jawab” Kami
terhenyak. Seolah dipaksa untuk mendengar suara-suara keributan. Sebuah
keluarga rumah tangga atau sepasang kekasih atau bahkan sepasang selingkuhan
yang meminta pertanggung jawaban dari sebuah sebab-akibat? Ah,,, barangkali
kamar-kamar serupa gerbong murahan itu adalah tempat paling aman untuk
mengumbar atau bahkan menyembunyikan semua ketidak wajaran hidup. termasuk
diriku dan gadis di sampingku. Kamar-kamar yang mungkin bagi semua orang begitu
mudah dijangkau oleh isi kantong. Murah-meriah dan mudah di dapat, disana.
Kamar tetangga sebelah telah membuat
sunyi kami buyar. Kami mulai risih. Meski kami sebenarnya tidak mau
menghiraukannya. Mendung dan sepoi angin mulai membual, serupa anak kecil. Tidak
kuat menahan pipis; muncrat.
Berserakan. Tempias airnya mulai meraba genting. Suara pertengkaran kamar
sebelah kian kabur oleh suara-suara kecil dari muara langit.
Aku-pun tidak mengerti dengan diriku
sendiri. Tiba-tiba aku bisa terdampar di kota itu. Kota yang melepas
kelajanganku. Kota pecahan Mataram; Keraton dan susuhunan. Sisa lampau yang
tidak mungkin aku ceritakan secara utuh seperti kisah cintaku pada perempuan
itu.
Aisyah, nama yang aku ketahui dari
acount facebook. Cinta memang sulit
untuk dipahami? Dimengerti? Jejaring sosial telah mengantarkan cinta kami
menjadi cinta yang sulit untuk diterima akal sehat.
Beberapa bulan lalu, secara tidak
sengaja kami on-line bersama.
Berbasa-basi. Antara kabar, ucap rindu dan sebagainya. Kami kian akrab. Tidak
hanya lewat internet, tapi kami juga sepakat berbagi nomor hand-phone.
Percakapan sederhana kami berujung pada
pertemuan. Hari, jam, sudah ditentukan. Aku sudah bertekad bulat menemuinya di kota
seberang. Di sebuah kamar kecil yang aku tempati saat itu. Kamar yang sengaja ia
pesan untukku. Ia begitu baik untukku. Begitu pandai memikat bahkan tahu
bagaimana cara untuk menghilangkan rasa lelah perjalananku.
Deru kereta mulai melolong. Kota-ku dan
kota-nya menuntut jarak tempuh tujuh jam perjalanan. Alamat, rute kendaraan menuju
tempat pertemuan kami telah ia perinci se-detail mungkin sebelum aku berangkat
menemui ke kotanya. Ahh,,, tidak bisa kubayangkan cinta kami akan seperti apa?
**
Potongan hidup kumulai. Pendar kilat
sesekali menyambar bubung rumah. Tak jauh beda dengan kisahku. Sepintas
menarik. Sepintas menakutkan. Harapan hidup dengannya kian dekat sudah.
“Menetaplah disini?”
Di hadapannya aku tertunduk, tak banyak
bicara. Ia memelukku. Pelan, menggairahkan. Tanpa kata. Hanya gerak birahi ia
layangkan!!
Malam-malam kami, kami habiskan hanya
dalam sunyi. Dalam dekap panjang, remang bulan. Dan mamalia kecil yang bisa
kudengar dari percik air sungai di belakang kamar. Empat hari, empat malam,
kamar itu membuatku banyak arti. Penjara cinta kugambarkan disana. Hari
pertama, ketika fajar menjelang, perempuan itu menghilang. Hanya bau parfum
tersisa. Menyeruak. Aku mencarinya disekitar penginapan, tetap tidak ada. Kutanyakan
pada resepsionis yang sedang melawan kantuk.
Dengan dagu menyedihkan pada tapak tangan raksasanya; “Kurang tahu juga. Tapi beberapa
menit lalu, memang ada yang lewat; perempuan atau laki-laki saya kurang tahu pasti”
tubuh tambunnya berusaha ia gerakkan sebisa mungkin. Watt matanya memprihatinkan. Akupun tidak melanjutkan pertanyaan
lagi.
Aku pasrah. Meng-iyakan semua sikap perempuanku.
Pagi-pagi ia meninggalkanku, senja ia menemuiku kembali dengan membawa segala
bekal makanan dan buahan. Aku sendiri tidak tahu, darimana uang itu ia peroleh untuk
membeli semuanya. Begitu seterusnya. Tujuanku menemuinya penuh harapan.
Mimpi-mimpi indah kubangun. Kupersiapkan untuk bisa hidup bahagia selamanya. Dengannya.
Mata sipitnya telah memberikanku sebuah
harapan. Harapan sederhana; ketika masa-masa on-line dijejaring sosial, aku pernah menanyakan “Foto-fotomu ini
asli?”. Kata “Iya” membuatku makin gencar untuk mengenalinya lebih jauh lagi.
Sedikitpun aku tak punya rasa curiga.
Saat pertemuan tiba, aku tidak tahu
harus bagaimana? Foto dan wajah aslinya begitu beda. Sangat beda. Foto-foto
yang ia pajang di jejaring sosial itu berjilbab. Kulitnyapun tertutup rapat.
Begitu agamis.
Kenyataanya, ia kutemui dengan rambut
terurai. Melambai. Penuh sensual. Bayangan semula berubah seketika. Debar. Dan
debur tak bertepi. Lautan hati yang semula tenang, menjadi binal. Apalah daya?
Cinta dan hasrat sulit untuk kubedakan, terlanjur bersemayam di dada.
Tunas-tunas sesal tumbuh. Hijau. Menyesakkan.
Pada batang waktu aku berserah. Pucuk dedaun bimbang. Hanya pada bening embun
aku meraba. Bertanya: ada yang beda?
Malam terakhir, jelang subuh ia
menungguiku terbangun dari tidur nyenyakku. Rambutnya basah. Matanya sembab. Setengah
sadar aku himpun pikiranku untuk segera kembali normal.
“Aku harus berterus terus sekarang!!”
“Soal apa?” Tanyaku membuat air-matanya
menuruni pipi langsatnya.
“Aku...aku...???” Suaranya terbata-bata.
“Aku apa? Katakanlah?” Pintaku
penasaran.
“Keputusan ini, mungkin sangat
menyakitkan bagimu..!!” Ia terdiam. Aku juga belum mengerti apa yang ia
maksudkan.
“Aisyah, nama samaran. Ita nama asliku. Aku
sebenarnya sudah bersuami...” Sengatan listrik serasa menjalar di tubuhku. Aku
hanya bisa terpaku di atas kasur dan selimut lusuh. Ruangan itu seolah-olah
ambruk dan menimpali kepalaku. Ia berdiri. Jendela tertutup itu, ia buka dengan
pelan, penuh penderitaan.
“Suamiku kerja di sebuah intasi
pemerintahan Ibu Kota. Setahun sekali ia pulang. Menemuiku hanya dalam satu
malam. Aku tak ubahnya hanya sebuah pajangan yang ia pandangi. Ia sentuh saat
ia perlukan” Nadanya memelas. Angin subuh menerpanya. Bibirnya gemetar.
Tubuhnya bersandar pada dinding triplek berwarna putih kusam.
“Lalu kau melampiaskan kesepianmu
padaku?” Tanyaku menimpalinya.
“Perempuan butuh kasih sayang. Harta,
jabatan, bukan satu-satunya penjamin kebahagian. Aku sendiri tidak yakin bahwa
suamiku sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengemban amanah negara” Kata-katanya
membuat hati ngilu. Aku hanya tidak habis pikir, dari mana ia tahu kalau
suaminya juga menghianatinya. “Bukankah ini hanya alasan ia saja, untuk merebut
rasa empatiku?” Benakku bercecamuk. Antara percaya dan tidak atas pernyataan
yang baru saja ia lontarkan padaku.
“Lantas, kenapa kau tidak ikut mendampingi
suamimu ke Ibu Kota???”
“Ia menyuruhku berdiam di rumah saja.
Menunggui rumah besar. Kosong. Penuh kehampaan” Tangisnya meledak. Tubuhnya ambruk.
Bersimpuh rapuh. Aku bangkit dari tempat tidurku. Mendekati perempuan malang
itu. Memapahnya dan mendudukkannya ke tempat tidur. Ia merangkulku penuh
ketakutan. Takut akan kehilanganku. Takut akan jauh dariku.
“Sudahlah...!!” Aku mencoba menegarkan
kembali. Menyatukan puing-puing kesedihan yang berserakan. Aku hapus airmata
yang terus mengalir deras di kedua pipinya. Adzan subuh berkumandang. Kota yang
baru saja lengang itu kembali berbisik. Bisikan adzan di setiap corong-corong
masjid membuat tubuhku gigil. Gigil atas kekecewaan. Ketidak percayaan. Di
akhir ujung pertemuanku dengannya begitu menyakitkan. Bimbang. “Apa yang harus
aku lakukan, sekarang” Itulah sisa rasa kemanusiaanku bercecabang. Tidak tega
bila harus meninggalkannya dalam keadaan demikian.
***
Lelaki simpanan, terasa geli bila
didengar. Sejak pengakuan subuh itu. Ita kupanggil nama sebenarnya. Kami layaknya
suami-istri. Makan, minum, hingga urusan paling intim menemani hari-hari kami. Kami
tak lagi di rumah penginapan kumuh. Ia membawaku ke istananya. Sebuah bangunan
berarsitektur kekinian. Besar. Molek dan megah. Luas halaman rumahnya serupa
taman bebunga. Anggrek, mawar, juga matahari bermekaran di ruas jalan disertai
kerikil putih menuju teras rumahnya. Kolam dengan ikan-ikan hias, hidup tenang
di bawah pancuran air yang keluar dari bebatuan di tepian dinding pagar bercat
menyerupai lereng-lereng pegunungan.
Hidup seperti ini tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Para pembantu-pun acuh tak acuh dengan keberadaanku.
Demikian juga denganku. Ita telah membuat cerukan hidup yang tak pernah aku
mengerti, aku pahami.
Dua puluh lima hari aku berada di istana
itu. Tak ubahnya, aku seperti hiasan pelengkap rumah. Rasa khawatir mulai
menghinggapi. Rasa was-was akan kepulangan suami Ita terus memburu. Tak ada
yang bisa aku lakukan, kecuali berdiam diri. Mengamati seisi rumah sebagai
penghilang jenuh hari-hariku. Aku amati foto pasangan suami-istri di dingding
yang terpajang di ruang tamu. Ke duanya tampak bahagia. Senyum tergurat di
wajah mereka. “Bagaimana mungkin mereka tidak bahagia? Kekayaan? Kecantikan?
Ketampanan? Mereka pasangan serasi. Dan hampir sempurna bila dilihat dari semua
yang mereka miliki?”.
Lamunan itu buyar oleh deru mobil di
pekarangan rumah. Ita sudah datang. Entah sampai detik itu, akupun tidak tahu;
apa aktifitasnya di luar sana. Aku tetap duduk di sofa, kembali mengamati
foto-foto serta lukisan di setiap dinding ruangan.
“O, ya Pa, kenalin ini Roihan,
asisten pribadiku selama ini...!!” Aku terperanjat. Di daun pintu, Ita
memperkenalkanku sebagai asisten pribadinya pada laki-laki bertubuh jangkung di
sampingnya. Aku gemetar. Tubuhku panas dingin. Laki-laki itu menjulurkan tangan.
Pertanda memperkenalkan diri “Sudarsono!!” laki-laki itu tersenyum. Lekat
menatapku. Menggenggam erat tanganku.
“Sesuai kesepakatan kita, bila
suamiku datang, maka kontrak kerja kita usai sudah...!!” Senyum manis perempuan
itu membelah dada. Membuatkan kubangan neraka. Menyulut. Dan melemparkanku pada
percik-percik api paling menyiksa.
Tak hanya itu, laki-laki di
sampingnya juga mengobarkan perih yang kian menjalar dengan membuka tas
kerjanya. Mengambil sesuatu. Amplop putih ia sodorkan padaku “Sudah aku perinci
semua di dalamnya. Terimakasih”
Laki-laki itu masuk ke dalam kamar.
Ita tersenyum. Dan berbisik “Maafkan aku. Tapi inilah permainan hidup.
Pulanglah. Aku harap kau bahagia dengan fasilitas yang kuberikan selama ini” Ia
mencium pundakku. Lekukan bibirnya bersisa: lipstik warna pink. Aku tidak bisa
berkata apa-apa. Tak ada pilihan selain meninggalkan ruangan itu. Rumah itu.
Perempuan itu. Juga kenangan-kenangan itu.
Hidup....
Sebangsa rimba. Yang kuat, dialah jawara.
Tak ada yang tersisa kecuali rasa melebihi dari paling luka. Kenyataan lebih
pahit dari praduga. Kota telah menimpaliku dengan ribuan karma. Tak ada iba
selain bayangan dosa. Dosa dari sekian jiwa ternoda.
Aku meringkuk kalah. Keadaan
melemparkanku pada teluk cinta. Lebih tepatnya cinta tak beraksara. Langkahku
gontai. Entah akan kemana? Corong waktu menuntunku; memulai, mengatarkan, lalu mengakhiri
pengalaman itu menjadi bagian proses hidup menuju hidup selanjutnya agar lebih
penuh pertimbangan. Pendewasaan.
Facebook, hand-phone, kamar kecil,
hingga istana megah; tempat singgah paling mewah, paling megah, kini
menjadikanku trauma. Trauma terhadap
hal bersifat ke-bendaan yang aku yakini
sebagai misteri yang tidak bisa kita raba. Kita rasa. Sebab ujungnya tak pernah
bermuara.
Aisyah dan Ita, dua nama satu jiwa. Satu
jalan. Satu perempuan antara dunia maya dan nyata. Menyuarakan identitas kota. Kota
yang merampas kelajanganku. Kota yang melepas harga diri begitu murah, serakah,
tertelan mentah-mentah.
Aku alpa. Aku luka lara.
Sebenarnya, waktu tak pernah salah.
Bangkalan, Agustus 2012










Komentar