Radar Madura Berbicara: Sastra Koran, Koran Sebagai Dialog Budaya





Radar Madura Berbicara:
Sastra Koran, Koran Sebagai Dialog Budaya
Oleh Muhlis 



            Demi menyambung keinginan besar para penikmat sastra dan budaya yang cukup komunikatif dengan redaksi, maka mulai hari ini (7/10) Jawa Pos Radar Madura akan membuka rubrik khusus sastra dan budaya. Selanjutnya, rubrik sastra dan budaya ini akan terbit secara rutin setiap hari Minggu. Adapun rubrikasinya nanti akan berisi cerpen, puisi, opini budaya maupun resensi buku sastra dan budaya. Bagi anda yang berminat untuk mengisi rubrik dimaksud bisa mengirimkan naskah ke alamat radar_madura@yahoo.com.
            Kabar singkat, dalam waktu satu minggu ini membuat saya secara pribadi merasa bahagia. Kutipan pengumuman dari tim redaksi di atas adalah bukti keseriusan masyarakat madura terhadap minat baca-tulis tentunya diperhatikan oleh media (khususnya Radar Madura) edisi setiap Minggu.
Sepihak, sepontanitas saya berpikir; sudah saatnya masyarakat Madura besuara. Tentunya suara dengan landasan pemikiran cermat, intelektualitas cerdas, aktual serta segar dalam penyampaiannya. Akhirnya Radar Madura punya rubrik sastra dan budaya secara khusus (seperti yang kita harapkan), SMS kawan ini juga bagian bukti harapan bahwa koran ini memiliki apresiasi besar terhadap kolom ini.

Sastra Koran?
Kelebihan dan kekurangan sastra koran, sebenarnya sederhana bila harus menjawabnya: pertama berbicara kolom sastra dan budaya dengan muatan rubrik puisi dan cerpen adalah ketika berbicara teks yang datang dari interpretasi gejala psikology, sosial, serta kontemplatif (perenungan) panjang seorang penulis, maka dimungkinkan setiap karya tercipta oleh berbagai kepentingan. Koran menjadi ajang “politik ruang” paling strategis, bila meminjam istilah Binhad Nurrohmad. Tapi mudah-mudahan dijauhkan dari kepenting seorang penulis: asal dimuat, puaslah diri, tanpa ada tindak lanjut karya selanjutnya. Kedua koran sebagai ladang media yang memiliki nilai lebih mudah untuk didapat dan dibaca, posisi sastra di dalamnya masih bersifat hiburan, anggapan ini dilatar belakangi karena keberadaan masyarakat kita dalam tingkat baca masih bertaraf rendah. Fenomena demikian termasuk suatu gejala yang wajar di negara berkembang seperti Indonesia, sebab sebagian besar masyarakat kita menomorsatukan kebutuhan ekonomi guna memenuhi kehidupan sehari-hari. Kata-kata Horace’s bahwa karya seni itu berguna dan menyenangkan atau dulce et utile lebih bisa berlaku pada masyarakat-masyarakat negara industri seperti Jepang, Eropa Barat, dan lain-lain (Sahid, 2000: 3). Ketiga nasib muatan kolom ini berada di tangan tim redaktur. Baik-buruknya sastra, layak atau tidak pemuatannya, apalah daya: suara-suara penulis dan pembaca semoga tetap berada dalam takaran kualitas tinggi, bukan terikat oleh ketentuan-ketentuan tertentu sehingga melumpuhkan sendi-sendi estetika sebuah karya.

Koran Sebagai Diaolg Budaya
            Sepeti sudah menjadi hukum alam bahwa semua kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Antropolog William A. Haviland (1988) mensinyalir setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Penyebab kedua, terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada (Sahid, 2000: vii).
            Koran telah menghargai apresiasi pembaca. Memberi kesempatan. Menaruh harapan kepada pembaca untuk memberikan suara-suara, baik dalam bentuk sastra, opini, maupun resensi buku. Koranpun saya yakin bisa menghargai kritik juga saran pembaca di setiap edisi terbitannya; tidak asal-asalan, apalagi mengandung unsur kepentingan bersifat selera pribadi dari tim redaksi, tanpa melihat bobot tulisan yang mengandung nilai-nilai sastra dan budaya tinggi sesuai visi dan misi ke depannya.
            Dengan demikian dialog budaya terjadi. Koran resmi menjadi tuan rumah. Tempat memonitoring gerak-gerik pemikiran pembaca. Pemikiran cerdas yang akan menjawab wacana sastra koran selama ini yang lebih mementingkan selera redaksi dari pada bobot suatu karya.
Sunaryo Basuki mempertegas keoptimisannya tentang wacana sastra koran ini: ketika disiarkan pada media cetak, sebuah karya sastra sebetulnya cuma numpang nampang. Sejumlah surat kabar masih percaya bahwa ruang sastra diperlukan untuk meningkatkan apresiasi sastra pembacanya, sedangkan surat kabar lain justru menghapus ruang sastra (kecuali) mungkin dikira tidak ada pembaca umum, selain para sastrawan yang membaca sastra. Sunaryo Basuki-pun dalam penelitian sederhananya, menyatakan: karya sastra di surat kabar dibaca oleh bukan saja publik sastra, misalnya guru-guru dan dosen, selain guru dan dosen pengajar Bahasa Indonesia. Hal ini semoga benar adanya.

            Kini, Radar Madura berbicara. Tinggal bagaimana masyarakat bersuara?

            Teks tulisan lebih panjang umurnya, bukan? Penyampaianyapun butuh keahlian. Seperti meramu bahasa cinta, butuh kekuatan aksara, dalam dan penuh penghayatan.

            Selamat berkarya!!



Bangkalan, Oktober 2012

Komentar

Auqil Mirza mengatakan…
klo ngirim cerpen bahasa madura. apa saja persyaratannya?
Muhlis mengatakan…
tidak ada persyaratan apa-apa, coba kirim saja, mudah2an dimut.

tulisan maksimal kurang 1.500 kata (1 lembar setengah)
- semangat. semoga dimuat.
Ipung mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ipung mengatakan…
Semangat kak Muhlis, sehat terus, lancar rezekinya, selamat dunia akhirat. Masih ingat dengan saya? Temannya togar.
Unknown mengatakan…
Kak, misal mau memgirim artikel pendidikan , ke alamat email yang sama atau berbeda kak?

Postingan Populer