Radar Madura Berbicara: Sastra Koran, Koran Sebagai Dialog Budaya
Radar Madura Berbicara:
Sastra Koran, Koran Sebagai Dialog Budaya
Oleh Muhlis
Kabar singkat, dalam waktu satu minggu ini membuat
saya secara pribadi merasa bahagia. Kutipan pengumuman dari tim redaksi di atas
adalah bukti keseriusan masyarakat madura terhadap minat baca-tulis tentunya
diperhatikan oleh media (khususnya Radar Madura) edisi setiap Minggu.
Sepihak, sepontanitas saya berpikir; sudah
saatnya masyarakat Madura besuara. Tentunya suara dengan landasan pemikiran
cermat, intelektualitas cerdas, aktual serta segar dalam penyampaiannya. Akhirnya Radar Madura punya rubrik sastra
dan budaya secara khusus (seperti yang kita harapkan), SMS kawan ini juga
bagian bukti harapan bahwa koran ini memiliki apresiasi besar terhadap kolom
ini.
Sastra
Koran?
Kelebihan dan kekurangan sastra koran, sebenarnya
sederhana bila harus menjawabnya: pertama
berbicara kolom sastra dan budaya dengan muatan rubrik puisi dan cerpen adalah
ketika berbicara teks yang datang dari interpretasi gejala psikology, sosial,
serta kontemplatif (perenungan) panjang seorang penulis, maka dimungkinkan setiap
karya tercipta oleh berbagai kepentingan. Koran menjadi ajang “politik ruang”
paling strategis, bila meminjam istilah Binhad Nurrohmad. Tapi mudah-mudahan dijauhkan
dari kepenting seorang penulis: asal dimuat, puaslah diri, tanpa ada tindak
lanjut karya selanjutnya. Kedua koran
sebagai ladang media yang memiliki nilai lebih mudah untuk didapat dan dibaca,
posisi sastra di dalamnya masih bersifat hiburan, anggapan ini dilatar
belakangi karena keberadaan masyarakat kita dalam tingkat baca masih bertaraf
rendah. Fenomena demikian termasuk suatu gejala yang wajar di negara berkembang
seperti Indonesia, sebab sebagian besar masyarakat kita menomorsatukan
kebutuhan ekonomi guna memenuhi kehidupan sehari-hari. Kata-kata Horace’s bahwa
karya seni itu berguna dan menyenangkan atau dulce et utile lebih bisa berlaku pada masyarakat-masyarakat negara
industri seperti Jepang, Eropa Barat, dan lain-lain (Sahid, 2000: 3). Ketiga nasib muatan kolom ini berada di
tangan tim redaktur. Baik-buruknya sastra, layak atau tidak pemuatannya, apalah
daya: suara-suara penulis dan pembaca semoga tetap berada dalam takaran
kualitas tinggi, bukan terikat oleh ketentuan-ketentuan tertentu sehingga
melumpuhkan sendi-sendi estetika sebuah karya.
Koran
Sebagai Diaolg Budaya
Sepeti sudah menjadi hukum alam bahwa semua kebudayaan
pada suatu waktu akan berubah. Antropolog William A. Haviland (1988) mensinyalir
setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan
kebudayaan. Salah satu hal yang
menjadi penyebabnya adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut
perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Penyebab kedua, terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin
menyebabkan diterimanya asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai
dan tata kelakuan yang ada (Sahid, 2000: vii).
Koran telah menghargai apresiasi pembaca.
Memberi kesempatan. Menaruh harapan kepada pembaca untuk memberikan
suara-suara, baik dalam bentuk sastra, opini, maupun resensi buku. Koranpun
saya yakin bisa menghargai kritik juga saran pembaca di setiap edisi terbitannya;
tidak asal-asalan, apalagi mengandung unsur kepentingan bersifat selera pribadi
dari tim redaksi, tanpa melihat bobot tulisan yang mengandung nilai-nilai sastra
dan budaya tinggi sesuai visi dan misi ke depannya.
Dengan demikian dialog budaya
terjadi. Koran resmi menjadi tuan rumah. Tempat memonitoring gerak-gerik pemikiran pembaca. Pemikiran cerdas yang
akan menjawab wacana sastra koran selama ini yang lebih mementingkan selera
redaksi dari pada bobot suatu karya.
Sunaryo
Basuki mempertegas keoptimisannya tentang wacana sastra koran ini: ketika
disiarkan pada media cetak, sebuah karya sastra sebetulnya cuma numpang nampang. Sejumlah surat kabar masih
percaya bahwa ruang sastra diperlukan untuk meningkatkan apresiasi sastra
pembacanya, sedangkan surat kabar lain justru menghapus ruang sastra (kecuali)
mungkin dikira tidak ada pembaca umum, selain para sastrawan yang membaca
sastra. Sunaryo Basuki-pun dalam penelitian sederhananya, menyatakan: karya
sastra di surat kabar dibaca oleh bukan saja publik sastra, misalnya guru-guru
dan dosen, selain guru dan dosen pengajar Bahasa Indonesia. Hal ini semoga benar
adanya.
Kini, Radar Madura berbicara.
Tinggal bagaimana masyarakat bersuara?
Teks tulisan lebih panjang umurnya,
bukan? Penyampaianyapun butuh keahlian. Seperti meramu bahasa cinta, butuh
kekuatan aksara, dalam dan penuh penghayatan.
Selamat berkarya!!
Bangkalan,
Oktober 2012








Komentar
tulisan maksimal kurang 1.500 kata (1 lembar setengah)
- semangat. semoga dimuat.