TRADISI MAULID NABI MUHAMMAD, SAW. l GUNUNG SERENG l KWANYAR









Berebut bukan untuk saling sikut. Berkuasa bukan untuk jadi penguasa. Mufakat bukan untuk menyusun siasat. Tua muda, hingga kurcaci-kurcaci, siap tempur sepenuh jiwa raga. Jika tidak percaya, coba dicek, geledah saja gulungan sarung mereka; plastik merah putih hitam berbagai ukuran siap memuat bejibun tandan sajian perayaan. 

Tahun 80/90-an, ada ancak [bahasa Madura: wadah serupa piring], dibuat dari batang daun pisang, ditusuk dengan lidi sebagai pembatas muatan. Di atasnya, tersusun dhudhul tettel geddhâng [dodol, ketan putih, pisang] tiga serangkai kuliner ini ditopang nasi pettok [kepalan nasi dibungkus daun pisang]. Tertatalah miniatur candi Borobudur. 


Hari ini, sajian-sajian di atas tak dijumpai?

Marsel lebih menarik. Eh, parcel lebih eksotik, duh...!! Desa di bawah tiga bukit, berkaki sebelas dusun, diselimuti tujuh masjid. Masjid-masjid inilah muara perayaan Maulid Baginda Nabi Muhammad, Saw.

Setelah pembacaan Sarafal Anam, Barzanji, Fi Hubbi, dan doa, jamaah masjid menyebar. Ada yang ke rumah-rumah, ada yang ke langgar-langgar, sesuai tradisi lelampau dusun masing-masing. 

Sesepuh dan kiai di langgar, tetap tenang, hikmat, bersila, seraya penuh gembira menikmati pemandangan  bulan kelahiran Sang Jungjungan. Di bawah langgar, sulit membedakan; mana yang merayakan maulud[an] dengan mulut[an]?

Allahumma Sholli âla Sayyidina Muhammad.



Bangkalan, 19 Oktober 2021




Komentar

Postingan Populer