SEMINAR TEKNIK DASAR SASTRA



Kamis, kemarin, [16 September, 2021], keciptratan untuk mengisi acara 'Seminar Teknik Dasar Sastra' di Pesantren dan MA Darul Muttaqin Blega, Bangkalan. Di meja depan, sudah ada saudara Muzammil dan saudara Anwar. Berkenaan dengan tema dari panitia, semua sudah diulek oleh Muzammil. Saya kebagian mikrofon terakhir. Pelengkap acara; tumbal tambal.


Acara dimulai, panitia dan pembina kesiswaan bisik-bisik; bukan soal poligami lho, tapi, soal harapan, agar peserta termotivasi untuk menulis. Kepala menjadi puyeng. Harus memutar haluan. Strategi apa yang harus dipakai? Maklum, tukang tambal ban, harus bicara sastra.

Poin sederhana, menyederhanakan kemampuan pengetahuan. Jalan pintas itu, karena keterbatasan. Saya sedikit mengupil perjalanan sastra pesantren. Burdah, bersanji, diba’an, kitab-kitab sastra lain yang ditulis ulang, dibaca, diajar di pesantren.

Di antaranya, teks manuskrip Serat Yusuf. Tulisan ini tidak hanya bermaujud menjadi teks sastra, tapi juga terjadi proses asimilasi budaya tulis ke lisan, hingga pertunjukan. Di Jawa dikenal mocopat/momocan. Di Madura mamaca[h]. 


Sastra pesantren, apakah harus lahir di pesantren? Ditulis santri? Berbau Islami? Nama adalah sebuah lambang. Sebagai lambang akan mewakili daya cipta, rasa, dan karsa. Di luar itu, tetap menjadi bukti fisik (karya) dengan latar belakang penciptaan. Terlepas dari bentuk apa pun, konsep, tema, dan pergerakannya, kehadirannya sudah cukup menggembirakan, sekaligus sangat berpengaruh bagi perbendaharaan sastra Indonesia.

Teks, wacana, saat ini terbuka lebar untuk ditafsir melalui pendekatan apa pun, untuk maksud apa pun, tergantung pembaca beserta sejarah dan latar belakangnya.

Penyelenggara acara ini, terdiri dari OSIS, Organisasi Buletin, Pelajar, dan Umum. Acara selesai, tak satu pun sampah terlihat dalam gedung aula, sekolah, dan ruang panitia.

Pesantren: sastra, penulis, dan pembaca bergerak.

Bangkalan, 17 September 2021

Komentar

Postingan Populer