TRADISI I RITUAL DHUDHUL TÉTTÉL MADURA

Tradisi lama, tidak memiliki hukum mengikat dalam pertahanannya? Sehingga, keberadaanya belum pasti utuh. Dhudhul (dodol) atau téttél (ketan padat) merupakan sajian makanan yang bisa dijumpai hanya acara-acara tertentu. Terutama acara 'bahagia'. Dhudhul, biasanya selalu disandingkan dengan téttél (ketan putih). Dhudhul téttél; dua sejoli ini bukan tak memiliki nilai filosofis, keberadaan, dan kehadirannya menguatkan nilai-nilai simbolis tentang pahit manis, kokoh suci kehidupan.
        
Lamaran, pernikahan, belum afdol bila keduanya tak menyertainya. Di berbagai wilayah lain, tentu memiliki keunikan dan nilai historis sendiri. Kacamata perjalanannya pasti bervarian. Konon, kehidupan pemilik hajat (ke dua mempelai) bisa terbaca dari bentuk maupun warna tekstur 'dhudhul téttél'. Lembek, sedang, keras, cokelat, putih, semua mewakili kehidupan yang akan dilaluinya.

Bagaimana jika ada yang punya niatan berpoligami? Apakah juga harus mempersiapkan dhudhul téttél untuk ke dua kali? Tunggu dulu, kita bahas lewat komunikasi pribadi.

Yang pasti dhudhul téttél, dahulu merupakan sajian favorit di setiap acara. Kini, ia ditinggalkan, tidak hanya oleh lidah, tapi juga oleh tangan-tangan pengolah yang sudah silih ganti generasi. Keberadaannya sudah bergeser dari utama menjadi sebagai pelengkap semata. Pengerjaannya pun dianggap cukup menyita waktu dan tenaga.

Bertahan atau akan hilang? Dhudhul téttél, bagian saksi asmara dari sekian pernikahan umat manusia.

Bangkalan, 27 Februari 2020


Komentar

Postingan Populer