PERTUNJUKAN TEATER I STKW SURABAYA


Jam 09.30 lampu Gedung Pertunjukkan Kecil STKW Surabaya dipadam (Senin, 23 September 2019). Acara sudah siap disajikan. Dibuka dengan suara sinden. Pesinden itu berjalan dari pintu utama gedung menuju area depan panggung. Dengung tanpa lafal. Sepintas sulit dimengerti. Tapi, jika dicerna dengan seksama, arasement lagu itu dipungut dari kitab berzanji karya Sayyid Ja’far Al-Barzanjii yang biasa dibaca malam Jum’at oleh kalangan Nahdiyin Jawa Timur.

Empat aktor, sudah berada dalam laboratorium eksperimental besutan sutradara Ahmad Faishal dan Moh. Hariyanto (Dosen Teater STKW). Tiga aktor laki-laki, satu aktor perempuan. Dalam suasana hening, aktor silih ganti memulai gerak. Gerak nafas, lamban, sedang, cepat, sangat cepat. Tubuh terpelanting. Dari beraturan, menjadi tak beraturan. Akhudiat sadar bahwa sajian gagasannya tidak mengikuti arus pop art yakni seni yang berorientasi pada industri kapitalistik. Karya teater yang tidak berupaya memanjakan penonton, tidak membuat senang dan nikmat penonton, tidak berupaya mengikuti selera penonton. RE tidak berupaya membawa penonton jauh dari dunia nyata, tidak menggiring penonton pada realita yang bukan sebenarnya, kenyataan yang sangat kabur, realitas yang bukan dirinya. RE berupaya merekontruksi kenyataan sehari-hari prosesi dan ritual penguburan mayat (Faishal, 2018: 150).


Faishal mempertegas bahwa naskah RE mengusung ide tentang kematian, mengajak pembaca memikirkan ulang tentang makna kematian, proses kematian, masyarakat melakukan upacara terhadap kematian, serta upaya mempresentasikan batas-batas realitas (dunia) dengan realitas setelah kematian (alam kubur; barzah).

Tapi, pertunjukan ini justru memberi peluang besar terhadap pembacaan lain?

Frame pertama, memberi ruang tafsir tentang muasal kehidupan. Ada metamorfosis, seperti masuknya ‘ruh’ pada bayi dalam kandungan. Opening degup jantung yang diperankan aktor paling kanan (belakang) telah mengambil alih mata penonton. Ruh telah bersemayam pada tubuh; gerak yang semula lamban berubah menjadi sangat liar. Di susul aktor paling kiri (belakang) lebih ekstrem. Melampaui akar subtansi untuk merebut makna; letak maut itu sendiri dimana? Di tengah (belakang), wiraga aktor perempuan membuka tirai subordinat muara persoalan, yaitu sebuah kehamilan yang bercangkang pada pergaulan bebas.

Frame kedua, gerak tercipta karena adanya sebuah titik ‘merah’. Lompatan ini berada dalam padu padan antara ruang konvensional dan modern. Permainan laser dikemas untuk flashback, dimana permainan ini hanya bisa dijumpai masa kanak-kanak. Sebelum laser bisa diperoleh dengan mudah seperti saat ini, cahaya matahari bisa dimanfaatkan pada cermin kecil, kemudian pantulan itu dimain-mainkan dengan menggerakkan kesana-kemari. Dan pantulan itu ditangkap beramai-ramai oleh sekawan kurcaci pada masanya. Suasana inilah yang berusaha diadaptasi ulang ke dua sutradara dalam pementasan ini.


Frame ketiga, penonton serasa dipotong tiba-tiba di tengah ketegangan nuansa antah berantah. Jika dalam buku Estetika Chaos Teater Akhudiat, Faishal sendiri menyebut bahwa Akhudiat secara tidak langsung menyiksa pembaca untuk melakukan proses pembacaan yang berulang-ulang (entah pembacaan secara sastrawi, pembacaan bagi aktor untuk dihafal dan dimainkan, sutradara atau kru teater yang lain: 153), kenyataannya justru berbalik arah, sebab adegan disini justru cukup realis dalam keseharian kita. Dalam suasana gelap, aktor berkerumun mengelilingi meja, senter dan handphone menyala, aktor bersuara, percakapan terjadi: hai google, boleh tidak saya meminta ucapan romantis? Kemudian google memberi jawaban. Terjadilah percakapan selanjutnya. Pembacaan penonton satu dengan lainnya tentu berbeda?

Klimaks  dari serangkaian pertunjukan ini adalah teriakan histeris perempuan mengerang kesakitan. Cahaya senter berafiliasi membentuk alur cerita dramaturgi apik. Cahaya itu mengalir dari kepala, perut, dan turun pada selangkangan. Di titik ini cahaya tersebut menyorot ke depan, ke tengah-tengah penonton.


Teriak sedih, putus asa, perempuan itu muncul dari kegelapan, melewati lampu sorot tengah, lalu hilang kembali dalam kegelapan. Bersamaan, tiga kepala muncul bergelayut menuju cahaya tengah panggung; kepala itu perlahan tanpa gerak. Kelahiran yang dipaksakan? Atau pembunuhan atas ketidak adilan? Arasement lagu berzanji melengking kembali. Antara sinden, antara kejhung, antara bahasa-bahasa asing, berbagai unsur bahasa dan etnik menjadi musikologi. Bulu kuduk menyisir dunia lain. Dosen, mahasiswa, beberapa tamu Australia, dan penonton lain tepuk tangan. Pertunjukan usai.

Naskah RE berhasil atau gagal? Yang pasti, keempat frame pertunjukan ini telah membuka ruang buat saya untuk memberi judul naskah ini, yaitu ‘ABORSI’.

Bangkalan, 24 September 2019

Komentar

Postingan Populer