TRADISI l PASAH NYEKAR NYÊKÊR I SUNAN CENDANA


        

NYEKAR NYÊKÊR

- Malam Petto Lêkoran


Entah siapa yang memulai? Dan kapan tradisi nyekar nyèkèr alias jalan kaki ini berawal? Konon, sesepuh-sesepuh kami melakukan kebiasaan ini sejak zaman bahola. Mereka berangkat jam 00.00 Wib, hingga sampai ke lokasi Pasarean (Sunan Cendana), kurang lebih 02.30 Wib. Mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga para orangtua mendampingi anak cucu mereka. Kebiasaan ini dilakukan setiap malam 26 di bulan Suci Ramadhan atau H-1 malam (pèttto' lèkoran).

Di tahun 90-an saya sudah ikut aksi olah otot, kaki, mental, dan keberanian ini. Sebab jalan dari desa ke lokasi tujuan, kurang lebih harus ditempuh 10 km. Rute naik gunung, turun gunung, seraya menjajal (ilmu nekat). Bagaimana tidak?

Bau kencur di tubuh masih bisa diingat. Tak ada makna mendasar, selain sebagai penghibur. Kami merasa seperti bintang film laga dengan gaya selempang sarung ke belakang. Pada lekukannya berisi bungkusan plastik menu sahur: tahu-tempe.

Kedekilan itu padu-padan, tak ubahnya para pemburu katak dengan obor bambu di tangan sebagai penerang gelap gulita jalan. Lengkap sudah aksi kekonyolan ini.

Jika, api penerang sudah padam di separuh perjalanan, kami menggunakan mata kaki sebagai petunjuk jalan. Tidak hanya bebatuan yang harus kami tendang, tapi cerita-cerita hantu juga harus kami lawan. Melawan dengan membungkus diri, dengan sarung bau tengik kami, dan jurus lari adalah andalan pamungkas kami.

Sesampai di lokasi, kami bukan langsung ziarah, yang kami lakukan menyantap habis bekal nasi, kemudian kesana-kemari sewa becak: menghabiskan uang saku yang sudah disemat selipkan oleh orang-tua pada sisi kopiah hitam kami. Dampak, anak desa turun ke gelanggang kota.😴😢

Terakhir, pensiun dari kutukan 'anak durhaka' di atas, tahun 2001. Setelah 17 tahun kemudian, semalam, baru bisa menyambung kembali kenangan itu. Bukan lagi sebagai renkarnasi kutukan, tapi sebagai anak manusia dengan kesadaran ruang dan waktu. Tak terasa mata berkaca-kaca. Waktu sedemikian rupa merubah keadaan.

Dulu, obor sebagai penerang jalan, kini, layar handpone multiguna, sebagai penggantinya. Dulu cerita ini selesai di lisan, saat ini, gambar-gambar perjalanan bisa terekam.

Cinta dibangun dalam ada dan ketiadaan. Semoga tetap berpahala. Menyambung jarak, antara manusia dengan semesta. Antara manusia dengan nenek-moyang.

Raga boleh berpisah. Jiwa mengalir al-fatihah....

Bangkalan, 11 Juni 2018

 

#ZainalAbidin

#Sunan_Cendana

#Alfatihah...


Komentar

Postingan Populer