BEDAH BUKU PUISI FANA I KARYA SALMAN ALFARISI


BEDAH BUKU PUISI FANA I KARYA SALMAN ALFARISI

EKSPRESI SASTRA (PUISI)

Oleh Muhlis*

Salman Alfarisi, kami tidak pernah berjumpa atau saling terhubung kontak via mana pun sebelumnya. Tentang siapa penulis ini? Saya terwakili halaman akhir bukunya berjudul Fana (Oase Publishing, September 2021). Secara umum, tema buku puisi ini adalah dunia batin dengan lapisan peristiwa individual, antar pribadi, yang menyimpan kenyataan sebuah luka.

Pada tanggal 20 April 2022, jam 10.55 buku ini diantar seorang mahasiswa bernama Al Farozi Ainul Faruk (Gubenur Himaba) dan sekretarisnya: Nur Hamimah. Nama lengkap keduanya saya tulis persis di bawah tanda tangan mereka dalam undangan yang diberikan kepada saya untuk silaturahmi pada Pekan Sastra HIMABA STKIP PGRI Bangkalan tahun ini.

Upaya mendekatkan puisi kepada pembaca tentu melalui lintas ruang dan waktu: ada gagasan, ada proses menuju teks, buku lahir. Situasi menjadi menarik dalam konteks pertumbuhan sastra di Bangkalan, ada banyak peran menentukan arah kemana si cabang bayi (buku) bergerak?

Salman, mulai memasuki pintu kontestasi perpuisian Indonesia. Perjalanannya masih sangat panjang. Siapa dirinya, di mana tanah kelahirannya, serta apa yang dilakukannya? Pergumulan batin akan menjadi tolok ukur identitas dirinya berposisi. 52 sub judul, bagian produk empiris (pengalaman), analis (pengamatan), dan estetis (keindahan).

Manifestasi Tanda

Dasar pengalaman, pengamatan pribadi tersebut menjadi akar proses penciptaan, merebut estetika. Banyak orang mengalami, pun merasakan apa yang dirasakan penulis dalam mengarungi lorong-lorong kehidupan, tapi betapa sedikit, bahkan nyaris tak ada yang menuliskannya menjadi sebuah puisi.


 KAMIS 

Senja yang meraung.

Orang-orang meratap di bawah

Kamboja bersimpuh

di hadapan nisan, dan bersayut

dengan jiwa yang abadi.

 

Bunga dan kemenyan

adalah bakti baginya

yang telah mati.

Moarah, 2019

 

KAMIS (nama hari kelima ini dipilih sebagai judul. Kenapa tidak hari yang lain? Ya, karena mengacu pada adanya sebuah peristiwa. Seandainya peristiwa itu terjadi hari Jumat atau Sabtu, barangkali judul puisi mengikutinya. Pada hari Kamis yang dimaksud, terjadi sebuah duka: kematian. Wafat di hari ini pertanda mula yang baik di alam barzah. Baik menurut agama Islam, baik pula di mata peziarah kubur untuk menyambangi makam para leluhur ‘wabilkhusus masyarakat Madura’). 

Senja yang meraung (tentu suasana sore itu penuh kesedihan)

Orang-orang meratap (rasa kehilangan, beraduk, tampak dari tatapan para pengiring jenazah dalam prosesi pemakaman. Semua tergambar seperti)

Kamboja bersimpuh (takdzim)

 

Di hadapan nisan, dan bersayut (sepaket dengan lirik lagu Abang Rhoma Irama [kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga], sangat berharga sebagai pelajaran, betapa kebaikan seseorang semasa hidup akan terbawa sampai mati, bahkan akan terbawa hingga)

dengan jiwa yang abadi.

 Bunga dan kemenyan (Semasa berkabung tujuh hari, bunga dan kemenyan akan terus tersiram di atas kubur [tradisi Madura]. Selepasnya, peziarah akan menyambangi makam keluarga atau para leluhur pada setiap Kamis sore. Lain halnya makam seorang tokoh [wali], dimungkinkan setiap hari tidak pernah sepi dari peziarah. Doa-doa tetap mengalir).

Adalah bakti baginya (penulis menekankan kembali tentang lelaku ‘kebaikan’. Sepanjang masa terkenang)

Yang telah mati (mati pun terkenang).

 Moarah, 2019 (nama tanah kelahiran si penulis, terletak di kecamatan Klampis, pada tahun 2019 puisi selesai ditulis).

            Tafsir puisi di atas saya lakukan manasuka. Sekiranya kemudian dipahami bahwa penulis mewakili suara yang bisa memanifestasikan tanda dari zaman itu sendiri. Ada satu fase yang mungkin tidak tercatat dalam buku kebudayaan, ada yang luput dari ingatan sejarah. Karya sastra (puisi) mungkin dengan penuh keharuan mencatatnya. Keharuan yang ditulis dengan “bahasa yang penuh keharuan” juga (Alwy, 2005: 78).

            Adalah ketidakmustahilan, jika kelak, Salman berafiliasi merekam serta melakukan eksplorasi penulisan puisi, penjelajahan tema dan gaya yang cukup signifikan. Nilai-nilai lokalitas sekelumit telah ia dudukkan menjadi ‘teks puisi’ mandiri. Tanah kelahiran Moarah tak luput dari pendokumentasiannya, secara umum mewakili geografis Madura secara keseluruhan di dua musim: kemarau-hujan.

 

Urbanisasi Mental

            Berdasar pada catatan di mana puisi diselesaikan, dan di mana saja puisi berbicara, sastra (puisi) di mata penulis merupakan ruang pengejewantahan tanpa batas: mengkomunikasikan jiwa raga, serta metafisika yang mampu meleburkan rasa: kecewa, sunyi, terpinggirkan. Semua itu, bisa dilacak.

            Di Moarah, airmatanya tumpah pada hari Kamis (halaman 3), di Arosbaya, Hutang, mengejar hingga liang (halaman 4), di Bangkalan, cintanya terekam dalam judul puisi Elegi 1 (halaman 56), di Surabaya, empatinya terarah pada Juru Parkir (halaman 9), di Tuban, ibanya tertindih pada Sajak Pengamen Tuban (halaman 24), di Malang, kekecewaannya membuncah tentang Aku dan Bangku Kosong (halaman 7), di Kotayasa, perpisahan itu diabadikan dalam Catatan Akhir di Kotayasa (halaman 28), di Boyolali, rindunya tertahan oleh Gadis Salatiga (halaman 25-26).

            Menyimpulkan kerangka buku puisi Fana, rasanya tak mampu menyembunyikan ‘kekalahan’ atas realitas hidup. Lebih tepatnya Sungai Kehidupan/ Kadang ia asin/ Kadang ia tawar/ Kadang ia tenang/ Kadang ia beriak/ Kadang, ia aku (Halaman 2). Hempas debur ombak, masih bisa dihalang oleh kokoh karang, tapi, jika batin bergejolak, kemana jiwa akan bersandar?

 

Gerak Kesusastraan

            2002, Agus Nor menyebut di Media Indonesia, bahwa, sastra memang tidak bersandar pada nama-nama. Dan, pertarungan dalam wilayah sastra juga tidak semata sebuah upaya untuk ‘berebut memasang papan nama’. Pada tingkat inilah, kritik bisa kita berikan kepada banyak ‘gerakan’ yang mencoba menafikan mitos-mitos dalam sastra kita, seperti pernah tertulis melalui gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman, yang surut dengan sendirinya ketika sudah merasa mampu memasang papan nama dalam sastra Indonesia. Ia menambahkan, sebuah pertarungan politik kesusastraan menjadi mengasyikkan dan menggairahkan, ketika ia lebih menjadi sebuah usaha membongkar mitos dan kepalsuan yang selama ini terus menerus direproduksi untuk mempertahankan sebuah hegemoni.

            Atmosfer gerak susastra 20 tahun lalu, hari ini apakah tetap berlangsung? Praktik pertarungan itu tetap mapan. Panggung lebih ganas. Sosial media menjadi alternatif perang isu wacana, bukan lagi soal perang estetika kreasi, tapi merupakan perang estetika resepsi. Ia serupa belantara rimba: buang ludah sekenanya. Mencengkram sesukanya.

Lain lagi, panggung Bangkalan. Di sini lebih lunak. Gesekan tetap ada. Meruncing. Kadang, bukan soal karya, tapi pribadi-pribadi, kesannya atas nama. Hal demikian tetap akan selalu ada, harus hadapi. Seni (sastra/puisi) hadir memang untuk membuat ruang gerak. Penggerak itu sendiri adalah penulis, orang-orang di luar penulis, komunitas; tempat ia membangun spirit, serta institusi atau lembaga yang menampung literasi sebagai aktifitas budaya.

Moarah, Arosbaya, Bangkalan, Surabaya, Tuban, Malang, Kotayasa, Boyolali, lewat sastra, Salman Alfarisi bersuara, berbahasa: lembut dan dalam. Dari utara ia telah membuat poros dialektika. Tinggal siapa saja, yang siap menyambutnya sebagai karya yang tidak selesai begitu saja?










Bangkalan, 20 Mei 2022


* Muhlis, Bangkalan (Madura). Praktisi Sejarah dan Budaya. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, esai, dan sedang dalam proses penerbitan buku sejarah. Kumpulan puisinya, Malsasa: Malam Sastra Surabaya (2007), Anting Bulan Merah (2012), Narasi Tembuni (2012), Tasbih Hijau Bumi: Kitab 99 Puisi (Lesbumi Nu Jatim, Desember 2014), Rampak Naong (Dewan Kesenian Jawa Timur 2015). Antologi puisi tunggalnya Canting Kenangan (2012). Kumpulan artikel, Menyelamatkan Masa Depan Bangsa (Catatan Kritis Dan Sharing Pengalaman Guru Indonesia 2017). Antologi puisi terbarunya Nuh Kun Nun (September, 2021). Saat ini tinggal di desa kelahirannya, Gunung Sereng, Kwanyar. Ia dapat dihubungi melalui:

 

Email                       : muhlisalfirmany@yahoo.co.id

WhatApp                 : 085231690145

Facebook/IG           : Muhlis Bhajra

 

Tulisan ini, disampaikan dalam acara Pekan Sastra HIMABA STKIP PGRI Bangkalan, (Jumat, 20 Mei 2022).

Komentar

Postingan Populer