BUKU PUISI l NARASI TEMBUMI

MISTERI  9 TAHUN

Buku Narasi Tembuni


 

9 tahun, misteri untuk mengetahui isi sebuah buku, terkuak. Proses panjang. Penuh perjuangan. Setiap ketik nama di laman google: Muhlis Al-Firmany,  deretan keterangan muncul, di antaranya kalimat Narasi Tembuni: Kumpulan Puisi Terbaik KSI Award 2012 (Komunitas Sastra Indonesia). Cover buku berwarna merah, ilustrasi absurd, seperti gambar di atas, disertai tulisan berfont Georgia. Berwarna kuning. Silahkan, klik. Cari nomor 45.

Dalam kealpaan panjang. Saya lupa-lupa ingat. Kapan dan di mana saya mengirim karya puisi berjudul Sumur Kuning. Saya kurang yakin, apakah puisi itu adalah karya saya? Di google tidak disertai isi puisi dan biografi penulis. Pasalnya, selama saya mengirim tulisan, rasanya jarang, bahkan nyaris tak ada pemberitahuan dari panitia, baik lewat e-mail maupun kontak HP.

Rasa penasaran saya bukan tidak disertai usaha untuk mengetahui siapa penulis yang memiliki kesamaan nama dan judul puisi di dalam buku yang termaksud. 2014, saya mulai mencari info di salah satu blog yang memberi sinyal, bahwa pemilik akun tersebut juga termasuk peserta penulis-penulis di dalam antologi itu. Alhasil, beberapa kali bertepuk sebelah tangan. Tak ada respon. Blognyapun sudah tidak aktif. Sakit tidak. Kecewa iya.

2013, nomor telpon dan email  ganti, karena suatu alasan yang tidak bisa diceritakan panjang lebar di sini. Cara meredam rasa penasaran; pertama, saya menganggap nomor urut, nama, yang termaktub di dalam antologi di atas bukan karya saya? Kedua, kalau karya tersebut memang puisi saya; kenapa saya harus (begitu berat) dengan satu karya, seolah-olah saya menulis satu puisi seumur hidup. Tips ini, barangkali juga bisa diterapkan bagi yang sedang dalam situasi pecah kongsi hubungan: ‘merelakan’ sesuatu yang tidak pasti dengan pengharapan yang tidak pasti, jalan keluarnya mengubur impian?

2020-2021, di tahun-tahun ini, saya cukup aktif melihat buku-buku yang layak buat saya jadikan referensi bacaan. Buku sastra, sejarah, budaya,  dan buku lainnya. Untuk mendapatkan buku-buku ini, saya harus menyisihkan sedikit demi sedikit uang untuk membeli. Buku lama yang sempat saya kubur dalam-dalam, sepintas ingin kembali saya cari. "Kenapa tidak coba cari di olshop, barangkali buku itu ada?"

Di beranda pencarian saya ketik. Buku itu ada. Stok 5 buah. Saya hubungi, alumni murid di tempat saya mengajar: Kurnia Ningsih, mahasiswi di salah satu perguruan tinggi Surabaya, jurusan Akuntansi Manajemen. Foto dan judul buku itu saya kirim. Ia langsung respon. 

“Buku itu ada, Pak. Apakah mau dimasukkan ke keranjang”

“Bungkus”

“Siap, Pak”

Selang beberapa hari, ia mengabarkan kembali: pesanan buku melewati batas waktu. Pesanan dibatalkan secara otomatis oleh layanan aplikasi. Kurnia, mencoba menghubungi si penjual; kegagalan dikarenakan si penjual tidak sempat packing barang, sehingga melewati batas tenggang yang ditentukan.

Kurnia, seperti paham betul atas keinginan besar saya. Ia pun terus mengusahakan penuh maksimal. Seminggu lalu, ia berkabar, buku sudah lepas landas. Hati berdebar. Mungkin serupa kisah ‘asmara’ kaula muda mengenal awal mula cinta. Sebenarnya, tulisan puisi itu masih utuh di file komputer. Namun, kini ia sudah berwujud beda. Berbentuk antologi buku, bersatu dengan puisi penyair-penyair besar nasional dan penyair Asia Tenggara. Diseleksi dari 2335 judul puisi, karya 447 penyair yang masuk ke panitia dan diteruskan kepada dewan juri, dengan berbagai tema, warna, dan gaya.

Banyak penyair yang mngirimkan sajak-sajak imajis yang prismatik dengan mengandalkan kekuatan pencitraan, banyak pula penyair yang mengirimkan sajak-sajak yang cenderung lugas dengan mengandalkan kekuatan tema. Berbagai metafor baru yang segar juga bertebaran pada sajak-sajak mereka, dalam narasi-narasi yang hidup dan memikat. Sesuai dengan tema yang ditawarkan panitia - tema puisi bebas, diutamakan yang bernuansa lokal, atau kesan puitik tentang situasi kota tempat tinggal penyair - sebagian besar peserta mengangkat persoalan lokal dengan sentuhan warna lokal masing-masing dan kekuatan gaya estetik masing-masing.

Ada penyair dari Patani, Thailand, yakni Phaosan Jahwe. Ada Damiri Mahmud (Medan), Dinullah Rayes (Sumbawa), Puisi Iman Budhi Santosa (Yogyakarta) yang menjadi judul antologi buku Narasi Tembuni ini.

Saya bahagia. Kurnia gundah gulana. Hatinya waswas. Dua kali jalan, kiriman barang gagal. “Memang benar, barang sudah terkirim. Namun, ia khawatir barang tidak sesaui harapan, atau ujung-ujungnya diganti buku lain” perasangka ini yang ada di benaknya.

Tujuan pengiriman tertambat ke sekolah. Atas nama adik Kurnia; Siti Komaria. Dua hari, saya tidak masuk. Komaria juga tidak masuk. Kurnia, selalu menanyakan kabar buku sudah sampai ke tangan atau belum? Degup jantung makin kencang. Saya segera mencari info ke anak-anak lain; adakah yang menerima paketan?

Barang diterima oleh siswi berinisial Choi, perempuan dengan lesung pipi. 147 cm dimungkinkan ukuran tinggi badannya. Hal ini dipertegas oleh keterangan teman kelasnya; Hasanah, Auririn, dan Iim. “Tinggi Choi tidak mungkin melebihi 150 cm, Pak” tegas mereka. Choi, panggilan akrabnya (bukan turunan Cina/Tionghoa). Choiriyah nama panjangnya.

Hari ini, buku saya terima. Berbungkus plester. 9 tahun mengendap. Entah di rak mana? Tertumpuk bersama buku-buku lain atau terserak sekenanya? Barangkalai si penjual menerima bundelan kardus dari tukang penjual kiloan kertas, majalah, buku bekas, dan sebagainya? Yang pasti benda itu sudah ada di hadapan saya. Seperti benda luar angkasa. Saya temukan di semak-semak waktu. Nun di sana.

Bungkus itu saya buka. Buku tidak berplastik. Tapi, masih tampak bagus. Mata saya langsung tertuju pada daftar isi. Sumur Kuning: Halaman 82, atas nama Muhlis Al_Firmany. Saya masih belum yakin ini nama saya. Saya langsung buka halaman belakang, yaitu biografi penulis. Nama, alamat, dan isi puisi telah membawa saya pada keharuan, kerinduan. mengejewantahkan pikiran. Saya tulis ulang di sini:

 


SUMUR KUNING

Karya Muhlis Al-Firmany

Kita pernah melewati sungai keruh itu, Sayang:

Pohon besar. Lubang jalan melingkar itu tetap ada, sama seperti lidah naga; menjulur. Membujur kaku.

Terlalu panjang. Iya terlalu panjang aku menuliskanmu. Menulis jalan ini sebagai penyempurna mimpi. Duh, kasih, kau putar dunia dengan pilihan hidup, kau yakini; ini adalah yang terbaik buat nafas panjangmu.

Ah, kau tinggalkan aku dengan alasan pilu kelabu.

Sekarang, kemana sajak ini akan kubawa? Baiklah. Kalau ini pilihanmu. Pintaku, satu kali saja; singgahlah kembali di nisan ibu. Paling tidak sekedar menemui jejak batunya. Darisana maka akan kuceritakan tanah leluhur kami. Barisan bukit-bukit kami. Yang terseret dari dari ceceran satu kisah. Kisah nyai-nyai bermandi di sumur berair kuning: konon, wajah-wajah mereka kian mulus. Berseri. Memikat hati tetuah lelaki kami. Darah-darah pribumi. Berurat nadi. Dan abdi tanah tak bertuan ini.

Janji kemarin tak lebih serupa mainan anak kecil, bukan?

Berpasang mata. Menukar rasa. Setelah itu; aku ada. Kaupun ada.

Lagi-lagi kita berdusta. Sepakat untuk tiada.

 

Bangkalan, Maret 2010

 

Bangkalan, 29 Januari 2021


#Kwanyar

#Budaya_Madura

#Muhlis_Al_Firmany

 

Komentar

Postingan Populer