BUKU PUISI SANGKOLAN I MATA CELURIT MATA SABIT I ROZEKKI



Karya Rozekki

BELAJAR MEMADURAKAN PUISI DENGAN DIKSI


Maraknya puisi-puisi bertema lokalitas, lantas akankah membuat para pembaca lebih penasaran? Gejala ini bagian dari sodoran apik dengan harapan besar; memperkaya khasanah literatur sastra, meminimalisir lunturnya bahasa ibu, pangsa pasar perbukuan lebih bervarian, penerbitan buku-buku sastra terus bernafas.
Tugas mulia seorang penulis harus disikapi dengan positif. Menggiring pembaca agar lebih cinta pada dunia baca tidak lepas dari kretifitas penulis, penerbit, toko buku, kelompok-kelompok literasi, serta instansi seperti halnya perpustakaan, semua memiliki peran aktif untuk bersama-sama mencerdaskan anak bangsa.
Individu maupun kelompok, swasta maupun pemerintah, sama-sama mempunyai andil dalam memberi tawaran-tawaran untuk saling memancing reaksi; ada dialektika, gagasan, serta riil di lapangan. Persuasif yang intens akan tarik-menarik dalam menebarkan aura mediasi antara penulis-pembaca. Jika semua sudah tidak bersinergi dan memilih jalan sendiri, bagaimana nasib bangsa ini?
Terlepas dari persoalan di atas, hadirnya buku-buku bertemakan lokalitas sangat menggembirakan dan sekaligus sangat berpengaruh bagi pembenderharaan perbukuan Indonesia. Dengan begitu, antologi puisi Sangkolan karya Rozekki juga telah menjadi bagian potret bagaimana empiris hidupnya menjadi teks sastra. Sangkolan berasal dari bahasa Madura yang berarti ‘warisan’.
Bangunan subjudul sebagian diambil dari bahasa setempat; Tenggala, Pangonong, Bubu, Kacong, Jhebbing. Memadurakan puisi dengan pilihan diksi lokalitas merupakan sebuah cara pengungkapan berbeda dalam membentuk suasana dan makna. Pernyataan cerdas, puitis, dan memancarkan citraan pedesaan tak lepas dari hal-ikhwal duplikasi penulisnya.
‘sapi’ dan ‘perawat sapi/kacong (bahasa Madura), dua objek ini dikisahkan cukup asimilatif oleh penulis. Ketidakberdayaan sapi dan perawat sapi berada pada kepasrahan. Keduanya harus saling terpisah karena suatu keadaan: Dua ekor sapi/ gemuk dan gemuk/ kacong mandikan di kali./ Digosok-gosok punggungnya/ pelan dan pelan/ sebagai salam perpisahan./ Sebab esok harus/ berpindah tangan/ sebagai modal penebus/ kemelaratan (halaman 45).
Semangat ini ditempuh dengan tampilan lahiriah akulturatif. Format buku dibelah menjadi dua bagian; Mata Celurit dan Mata Sabit. Mata Celurit mengungkap peristiwa atau ingatan yang melekat pada benda-benda yang lazimnya diwariskan pada anak laki-laki (kacong). Puisi-puisi pada Mata Sabit pun demikian, mengungkap peristiwa atau ingatan yang melekat pada benda-benda yang lazimya di-sangkol-kan pada anak perempuan (jhebbhing), pengantar penulis di cover belakang buku.
Teks demikian semoga bukan menjadi simpul akhir imajinasi kreatif penulis. Bukan sekadar pelarian dari kelemahan dirinya dalam mengusung tematik puisi yang lebih jauh universal. Membiarkan hal-hal apa yang ada di sekitar, menelantarkan peristiwa-peristiwa kecil maupun besar hilang ditelan arus zaman, serta enggan merekam jejak yang sudah didengar, dilihat, serta dilakukan, betapa amat disayangkan? Tulisan adalah organik yang akan menjaga keutuhan’sejarah kehidupan’.
Perhelatan panggung puisi hari ini masih memiliki ruang dan tempat. Media online dan cetak terbuka lebar. Ruh ini cukup sebagai tranformasi dan edukasi bagi generasi. Paling tidak menurut Faruk adanya studi sastra mendekati karya secara psikologis, mencoba memahami karya sastra dengan melihat latar belakang kejiwaan pengarang, atau setidaknya dengan menanyakan apa yang dimaksud oleh si pengarang dengan karya-karyanya yang dipelajari itu.
Buku Sangkolan  sepotong demi sepotong sudah membingkai  Madura dan menempatkannya pada dingding kesusastraan Indonesia secara umum. Dan Indonesia secara kultural. Kampung utuh, lelaki-perempuan teduh, bergerak dari masa kesederhanaan menemui masa kemodernisasian; jebbhing yang sehari kaujumpa/ magang di rumah sakit Negara/ pandai meracik/ dan mengutak-atik suntik/ Tapi seperti katamu/ setiap kemajuan butuh imbalan/ Sangkolan yang kautinggalkan/ tidak semua bisa kaujaga (halaman 95).
Menghindarkan wilayah dari hingar-bingar dunia luar, mustahil diterapkan. Gigitan industri teknologi akan membentuk peradaban baru. Politik, ekonomi, budaya, hingga manusia-manusia di dalamnya akan terseret jauh melampaui perkiraan-perkiraan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Suasana 80-an dengan 2018 memiliki jurang perbedaan. Penulis menutup buku puisinya sebagai sikap pasrah atau kalah? Kuharap kaumaklum/ Kukorbankan sangkolan lain/ demi sangkolan lebih besar:/ jhebbhing yang sehari kaujumpa/ kini menjadi dara (halaman 95).


Bangkalan, Desember 2018

Komentar

Postingan Populer