BUKU PUISI TIDUR SAYANG MALAM TELAH LARUT l ROSI PRADITYA




Medan Cinta, Medan Bahasa Milenial

58 puisi dengan ilustrasi cover payung, tempayan, kainputih, dan burung gagak? Buku ini berjudul Tidur, Sayang Malam Telah Larut. Membaca antologi puisi ini tak akan menemukan subjudul di setiap halamannya. Hanya ada angka 1, 2, 3, dan seterusnya. Angka-angka ini sebagai penanda atau merupakan satu kesatuan esensi judul dari awal  hingga akhir puisi ini selesai? Teks maupun suasana lebur dalam ekspansi jagat hati.
Menjungkir-balikkan sastra sebagai ladang kebebasan, itu hak penulis. Apapun bentuknya. Buku sudah lahir. Hampir seluruh isi dalam antologi puisi ini berupa retorika liris sebagai bentuk penghayatan yang menggambarkan eksistensi individual, terutama via asmara yang dibangun secara sembunyi-sembuyi maupun transparan terhadap objek yang digambarkan oleh penulis.


Medan Bahasa

‘Arus perasaan’ menjadi pola konsepsi setiap puisi? Dunia cinta dan dunia perang menjadi alternatif yang sama-sama memiliki strategi di dalamnya. Pedang dan busur memang tidak tampak kecuali medan bahasa yang bernafas, seperti pada puisi 1: … /dan aku tahu bagaimana cara mengarungi air matamu yang menjadi sungai/ dan kini celah kubertanya; “cinta kita belum utuh sepenuhnya, dan belum selesai kepada cuaca yang terus menggigil” (Halaman 1).
Rosi Praditya, penyair muda asal Sreseh Sampang Madura sudah mengisi muara kesusastraan Indonesia, khususnya Madura. Meski, dalam bagian lain, semua puisinya tak ada yang mewakili dirinya sebagai anak pesisir apalagi identitas tanah kelahirannya, kecuali pada halaman 44 :…/ salah satunya perempuan laut yang katanya telah merobek laki-laki laut/ anak-anak laut/ cucu laut/ bahkan tidak ada lagi kapal-kapal nelayan tenggelam.
Bentang cinta telah membuat jarak pandang terbatas. Alurnya menghantam hingga luka berdarah-darah. Si mempelai wanita (objek) dalam buku ini mengikatnya. Membekukan jalinan kosakata antara karakteristik jiwa muda dan kulturnya. Penyair-penyair saat ini kebanyakan baru tiba pada taraf “berpuisi” dan belum taraf “memuisi”. Pengertian “memuisi” menunjuk pada gejala di mana sajak adalah ekspresi kehidupan si penyair secara wajar (Rendra, Kepel Press, 2005).


Pembaca Milenial

Buku Tidur, Sayang Malam Telah Larut sudah menampung daya ledak emosi penulis (Rosi). Eksekusi tepat. Terbit sebagai ‘Oase’ di tengah-tengah cecamuk politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang masih minim atas literasi media, media sosial yang menjadi medium tumbuh kembangnya hoax.
Deret gatra dibangun penulis hampir utuh. Situasi puisi-puisinya memungkinkan akan disukai pembaca remaja kekinian (milennial). Koridor cinta di dalamnya punya waktu dan ruang. Ibarat hati kering kerontang sedang disandera oleh kemarau panjang. Rujukan berbahasa diplomatis romantis kepada kekasih akan menuai kata sepakat mufakat bagi penikmat yang sealiran dengannya.
Titik simpul, segala bentuk dialektika tentang susastra Nusantara tak lain adalah karya. Penulis menyadari akan hal ini semua. Jaminan puisi akan memiliki pembaca atau tidak, baginya: puisi akan dipertemukan dengan nasibnya sendiri. Semoga buku kumpulan puisi ini terhindar dari fitnah, dan kecurigaan  yang lain (halaman VI).
Pada taraf riil, penilaian yang lebih dewasa tak lain yaitu bagaimana member rubrik pembaca tentang ‘makna’. Tentang falsafah belas kasih. Khususnya cara menekan, melawan derita anak manusia yang mengalami aneka macam amukan rasa merana. Senada apa yang disampaikan Harry Aveling, secara umum kesemuanya memerlukan adanya belas kasih itu, sebab mereka bergantung sama sekali nasibnya pada penolakan mereka sendiri terhadap cinta jauh di waktu lampau.
­Penulis telah mereduksi zaman ini dengan medan bahasa cinta. Madura akan dibungkus seperti apa ke depannya? Ditunggu karya selanjutnya.



Bangkalan, November 2018

Komentar

Postingan Populer