MEMBACA ULANG VISUAL REKAM JEJAK KIAI HASYIM ASY'ARI I NU





Tahun 2013, film Sang Kiai di launching. Di tahun ini pula, dalam kurun dua belas bulan, ada sekitar 103 film Indonesia tayang. Bagi pecinta film, film-film baru diburu, ditunggu seperti menunggu seseorang yang spesial hadir ke hadapan kita. Kini, kehadiran film tidak hanya untuk memenuhi keinginan maupun selera pemuas hiburan semata, tapi, film juga sudah menjadi media untuk memberi pencerahan dari berbagai ragam sudut pandang.

Film, selain bertujuan untuk pangsa pasar (ekonomi), peranannya berposisi untuk mewakili suatu keadaan, maka lahirlah film-film dengan genre berlatar belakang fiksi dan non fiksi. Ia datang ke permukaan, merebut hati semua kalangan. Tak jarang, film-film instan dengan alur buram penuh vulgar tayang di layar demi meraup keuntungan besar.
Sang Kiai, tergolong genre film colossal-biography, serupa dengan documentary-history. Genre semacam ini memang sedang diminati penggemar film Indonesia. Maka tak heran, film Habibie dan Ainun sudah mengumpulkan 4.370.376 lebih, terpaut tiga ratus ribu saja dari rekor pendapatan Laskar Pelangi.

Memburu Tokoh
Di tengah-tengah masyarakat (Madura khususnya), teritorial kedudukan seorang kiai dibagi menjadi tiga bagian: kiai pesantren, kiai langgar, kiai spiritual.  Sudah tentu kehadirannya menjadi sangat penting sebagai sandaran masyarakat, dan fungsi sosialnya sangat menentukan karakteristik sebuah wilayah. Di kalangan Nahdliyin, titah kiai pantang untuk dipertentangkan, jika tidak kualat akan datang menimpa.
Dalam film Sang Kiai, tokoh sentral, yaitu Kiai Hasyim Asy’ari, diusung mejadi sebuah garapan apik oleh Rako Prijanto. Kehadirannya sebagai perpanjangan tangan serta mata rantai film bergenre biografi tokoh baik lokal maupun nasional. Tenggelamnya Kapal Van Derwijck, La Tahzan, Edensor, Sang Pencerah, Jokowi, Soekarno: Indonesia Merdeka. Judul-judul ini patut diapresiasi sebagai kebangkitan Nasionalisme perfilman Indonesia. Di era milenial, visualisasi tokoh dicuri oleh sineas-sineas muda untuk ditawarkan pada khalayak umum, bahwa film Indonesia memiliki ruh budaya adi luhung.

Asimilasi Budaya
Tidak semua bentuk penjajahan berdampak buruk. Ada sisi baik yang bisa dipelajari, dinikmati, serta dirasakan manfaatnya oleh sebagian rakyat kala itu, di antaranya; bahasa asing, organisasi politik, serta transportasi kereta api, selebihnya kesengsaraan menimpa.
Syuting film ini berlatar belakang tahun 1940-an. Jauh sebelum tahun ini, Portugis, Inggris, Belanda, silih ganti, keluar masuk melakukan ekspansi besar-besaran untuk menguasai negeri dengan limpahan alam yang melelehkan air liur siapa saja untuk mencicipi kemakmuran.
 Kediri, Gondang, Magelang, Ambarawa, dan Semarang, lokasi ini dipilih untuk pembuatan film Sang Kiai. Majalah Pesona, mengabarkan bahwa massa untuk pengambilan gambar melibatkan 500 kru dan 5000 pemain. Selain  aktris utama, film ini juga melibatkan warga setempat untuk memerankan beberapa adegan kolosal di dalamnya.
Ikranegara dan Christine Hakim memerankan tokoh sentral yakni K.H.Hasyim Asy'arie dan Nyai Kapu, istrinya. Sedangkan pemeran K.H. Wahid Hasyim (anak sang Kiai, ayah dari Gus Dur) adalah Agus Kuncoro. Mereka bertiga beradu akting dengan sederet aktor muda seperti Adipati Dolken (sebagai Harun, murid kesayangan Sang Kiai), Dimas Aditya (sebagai Husyein, penerjemah yang bekerja untuk tentara Jepang), dan Meriza Febriani (berperan sebagai Sari, istri Harun).
Untuk menghasilkan film yang benar-benar menggambarkan perjuangan kemerdekaan, tim produksi menggandeng aktris asal Jepang dan Belanda, yakni Suzuki Noburo (sebagai Kumakichi Harada), dan Andrew Trigg (sebagai Brigadir Mallaby). Sedangkan Bung Tomo diperankan oleh Ahmad Fathoni dan Gus Dur kecil diperankan oleh Ahmad Zidan.
Dulu dan sekarang, asimilasi budaya tetap ada. Bertahan. Entah siapa yang diuntungkan?

Menentukan Pilihan: Keras atau Lembut
Tujuh tahun film Sang Kiai beredar di tanah air, tak sedikit para pelajar, mahasiswa, akademisi mengkaji kehadirannya ke dalam berbagai bentuk diskusi, seminar, makalah, artikel, resensi, hingga skripsi, berbagai perspektif dimunculkan, mulai dari tema: jihad kemerdekaan, nasionalisme, hegemoni, kesantunan bertutur dialog tokoh, humor, romantisme, kesedihan, kebahagiaan, cukup kompleks menyertai kajian film berdurasi dua jam lebih ini. Lalu, kenapa hingga kini, film ini tetap menjadi menarik untuk diperbincangkan?
Tidak semua adegan kemudian menjadi kajian orang-orang. Barangkali, ada frame yang luput dari pandangan mata untuk dimunculkan ke permukaan. Semisal adegan itu tampak, ketika pertentangan pemahaman untuk menyelaraskan sebuah pandangan, antara kaum muda dengan kaum tua.
Di menit 0.33. 17 :
“Kata Harun, Jepang menyebut-nyebut nama Tebuireng, sebelum menembak Hamid.” tutur Kiai Wahid Hasyim kepada Sang Kiai (Ayahanda tercinta).
“Jadi, Hamid ditembak karena ia santri Tebuireng” Kiai Hasyim Asy’ari terdiam sejenak. Menghela nafas. “Rupanya kita harus lebih bersikap lembut dalam menghadapi, Jepang” sambungnya.
Kiai Hasyim Asy’ari memberi isyarat, untuk tidak ceroboh, bahkan ia memilih jalan tengah untuk tidak mengambil sikap frontal. Baginya, sikap ini diambil sebagai jalan terbaik, mengikuti arus bukan berarti ‘tunduk’, tapi, akan berbuah manis di kemudian hari. Meskipun, ia sendiri rela dicemooh oleh orang-orang yang menganggap dirinya lemah, berpihak pada kekuasaan Jepang saat itu.
Hanya kecerdasan sutradara yang bisa bermain-main di sini. Kalimat di atas sederana, tapi syarat makna. Diucapkan saat-saat situasi genting dan berkabung. Tidak gegabah. Proses riset panjang pasti dilakukan demi mencapai suatu tujuan dan hasil maksimal. Sehingga, sutradara sangat hati-hati di dalam menjaga kekharismatikan tokoh utama; Kiai Hasyim Asy’ari.

Politik, Perang, dan Kekuatan Cinta
Lumbung pangan adalah pokok utama untuk keberlangsungan hidup manusia. Penerapan Romusha membuat penduduk paceklik karena politik licik. Penduduk dalam tekanan. Dipaksa bercocok tanam. Menanam pun dijaga ketat oleh tentara, sementara hasilnya diwajibkan setor pada pemerintah Jepang. Rakyat sangat menderita. Kelaparan di mana-mana. Kekejaman-kekejaman itu dimunculkan melalui gambaran penyiksaan tentara Jepang, pengemis-pengemis jalanan. Dampak Romusha sangat luar biasa.
Selain, penggalan-penggalan gambar di atas, ada pula cuplikan kalimat yang mewakili kegetiran situasi. Di menit 1.01.50, Kiai Hasyim Asy’ari mempertanyakan stok lumbung padi pada Nyai Kapu. Namun, sang istri menjawab dengan tegas, bahwa urusan dapur, kaum laki-laki tidak perlu gelisah. Urusan itu, perempuan-perempuanlah yang akan menyelesaikan semuanya.
Keteguhan, kelapangan, dan ketenangan seorang istri sangat besar untuk menentukan sukses tidaknya seorang suami. Di balik laki-laki hebat, ada seorang perempuan luar biasa. Ketulusan pengabdian seorang istri menjadi titik simpul kuatnya ikatan cinta. Denyut nadinya adalah kepercayaan.
Cinta tidak perlu dieksplorasi nakal, penuh birahi, apalagi sensual. Cinta sebenarnya sangat sederhana untuk divisualisasikan. Tanpa vulgar. Tubuh perempuan sendiri sudah diciptakan oleh Tuhan dengan segala keindahan. Dari ujung rambut hingga kaki, perempuan sudah dalam tataran lingkaran kesempurnaan. Kenapa disebut aurat? Tentu, aurat itu memiliki rahasia tersendiri. Jika dibuka, selesai sudah rahasia itu.
Romantisme di dalam film Sang Kiai, cukup memberi makna mendalam. Cukup memberi tauladan. Ada performance istri mengambil sorban yang disandang suami, memijit tubuh suami, cium tangan suami, bukti bakti setia seorang istri.  Bentuk-bentuk romantisme lain yang digambarkan oleh Rako dalam adegan ketika Nyai kapu menghidangkan secangkir kopi terhadap sang suami, yaitu Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai menyeruput kopi di tangannya. Kemudian, Nyai Kapu mengambil cangkir dan menutup kembali permukaannya, inilah adegan bagian paling romantis dalam film Sang Kiai. Masih adakah perempuan seperti ini?
            “Pak, Apa aku juga ada dalam do’a, Bapak? Atau hanya para Syuhada dan para santri yang ada dalam do’a, Bapak?” tanya, Nyai Kapu, penuh harap.
            “Saat aku memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala agar dijauhkan dari api neraka, kau ada dalam do’aku semua, karena kau bagian dari diriku” jawab Kiai Hasyim Asy’ari. Nyai Kapu tersenyum. Wajahnya merona. Cinta bagi keduanya begitu suci. Putih. Tak bernoda. Kita yang muda dibuat tak berdaya, sebab asmara, cinta, dan nafsu, sulit untuk dibedakan, lantaran mata dan hati tertutup oleh rasa yang mengatas namakan kasih sayang. Gelap gulita. Menganga dan membabi buta.


Bangkalan, 30 Januari 2020


*Resensi Film ‘SANG KIAI’, disampaikan di acara Talk Show: Memperingati Harlah NU ke-94, pada tanggal 31 Januari 2020. Tema; Merefleksikan Semangat Ulama dan Santri Dalam Mempertahankan NKRI.


   



Komentar

Postingan Populer