TOPENG PATENGTENG MODUNG BANGKALAN MADURA
![]() |
| Dokumentasi Topeng Patengteng |
Topeng telah terombang-ambing
berabad-abad lamanya di antara tradisi perdesaan dan tradisi keraton. Evolusi
historis tidak semua dapat mengikuti jejak tradisi perdesaan, yang tertelan
waktu, dan lebih terfokus pada tradisi keraton (topeng sebagai kesenian mandiri) yang tentu saja telah meninggalkan
lebih banyak jejak tertulis dan berupa benda.
Tahun 70-80-an topeng berada dalam
masa kejayaan, 19 lembar menjadi bagian subbab kajian Helene Bouvier di dalam
bukunya: Lebur; Seni Musik Dan
Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura (2002). Meskipun persebaran topeng di
Jawa Timur cukup banyak bervarian, namun, semua obyek penelitiannya fokus pada
wilayah Kabupaten Sumenep. Saat ini nasib topeng bagaimana, entah?
Di Bangkalan,
satu-satunya yang masih teridentifikasi adalah topeng Patengteng. Gempuran
teknologi lantas tak menyurutkan para pelaku seni topeng ini untuk tetap
melakukan ritual tahunan. Kapan dan siapa pencetus adanya topeng di sini? “Jai, Juju’2, sedari kecil, semua
saya saksikan sendiri mereka bermain topeng” klarifikasi Ma’ Ulam; sesepuh berusia
80 tahun juga pelaku seni topeng Patengteng ini cukup menjadi rujukan bahwa
topeng Patengteng kurang lebih sudah berumur satu abad.
Rokat topeng Patengteng
diselenggarakan tiga kali setiap tahunnya. Satu rentetan di bulan Hijriyah,
tepatnya bulan Maulid Nabi. Setiap Hari Jum’at. Kemarin, dilaksanankan pada
tanggal 15, 22, 29 November 2019, jam 15.00 Wib, di tiga dusun: Tlagha,
Parokadhan, terakhir di Sombher Langkap, semua lokasi masih dalam satu kecamatan Modung Bangkalan Madura.
Topeng Patengteng,
sebagai genre kesenian mandiri, yaitu pertunjukan musikal dengan topeng dan
tarian, tanpa penyutradaraan, dan murni sebagai ritual. Bila Timoer (1979-1980)
dan Handayani (1981-1982) menggambarkan bahwa pertunjukan Topeng Patengteng digelar tiga pertunjukan topeng (raja, satria,
putri) dengan narasi yang dituturkan oleh seorang dhalang, diiringi musik tuktuk
(orkes gendang bercelah). Kini, narasi beserta dalang itu tidak tampak, yang tersisa
hanya musik pengiring gerak topeng.
Simbol
Topeng Dan Tarian
Kedudukan topeng
sebagai media tidak hanya bagian bangunan instrumen ragawi saja. Ia berposisi
sebagai subornasi yang memiliki peran dalam pelaksanan ritual. Secara tidak
langsung, topeng-topeng itu menjadi simbol dasar nilai-nilai luhur dengan
harapan sesuai fungsi rokat itu sendiri, yaitu mencegah bahaya yang menghantui
sebuah rumah, seseorang, tempat, atau masyarakat (Bouvier: 119).
Petaka,
kepelikan, dan aura negatif lainnya akan datang jika masyarakat sekitar alpa
akan tawaran eksotis hidup semata. Demikian kepercayaan berlaku di sana. Manusia,
alam, dunia lain di luar dirinya harus seimbang. Rokat hadir sebagai rasa
syukur. Diproyeksi oleh masyarakat setempat atas limpahan keberkahan. Tumpeng,
uang, kemenyan, bunga-bunga, musik, tarian, serta do’a-do’a yang dipanjatkan
oleh tokoh agama yang merupakan bagian bentuk taat kepada Sang Pencipta.
Topeng Patengteng
terdiri dari lima unsur karakter; Adipati Karna, Brotoseno, Burisrowo, Arjuna,
dan topeng Potre Sumbodro. Topeng Potre Sumbodro diperankan (Ma’Ulam), Arjuna
(Pak Topik), sisanya sesekali dipakai oleh penonton yang hadir dan ingin ikut
andil di acara ritual yang diadakan kelompok topeng ini.
Tarian lepas, yakni gaya tarian yang dipakai topeng
Patengteng saat ini. Kadar kodefikasi sederhana, dan tidak terkait dengan
cerita pokok. Jika dahulu dimungkinkan pernah ada unsur cerita di setiap
penyelenggaraannya, dan bila harus mengkomparasikan pada beberapa catatan
Soelarto pada tahun 1977, bahwa di Madura tokoh Klana, yang berasal dari
cerita-cerita Panji, meskipun tidak sepenuhnya disisihkan oleh topeng
cerita-cerita Ramayana dan Mahabharata, yang lebih umum di dalam pementasan
topeng Madura, butuh waktu sebagai penelitian lanjutan.
Mempertahankan
pakem tradisi topeng rasanya sulit? Tentu kondisi ini terletak pada regenarasi topeng
Patengteng. Bertahan untuk ada, sudah sangat lega, apalagi mempertahankan
kemurnian?
Wirama,
Wiraga, Wirasa
Pak Munir, Pak
Sadi, Ma’ Misnati, Muzakki, Nazar, Ishak, Yunus, dan Muhammad; musikal di
tangan mereka telah menjelma estetika wirama, wiraga, wirasa. Semua padu
menjelajah ruang-ruang kearifan lokal nun di sana. Di pedalaman Madura, mereka
masih tetap bertahan. Meski, di sekeliling mereka satu persatu hilang untuk
menjadi seorang urban demi mengubah taraf sosial. Ke depan mereka bertahan atau
bubar?
Wallahu A’lam.
Bangkalan, November-Desember
2019
Keterangan:
1
Patengteng, nama sebuah desa di
kecamatan Modung Bangkalan Madura
2 Jai (Kakek), Juju’ (Orang tua dari kakek/nenek)










Komentar