REKAM JEJAK BUDAYA INDIS I RADAR MADURA, JAWA POS



Rekam Jejak
BUDAYA INDIS
Oleh Muhlis Al-Firmany.


            Memotong sejarah sama halnya memotong tali simpul generasi tua terhadap generasi muda. Dari masa lalu ke masa selanjutnya.  Bicara masa lalu, tentu banyak memori (kenang): suka-duka. Kekejaman. Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sengaja dilupakan. Serta pemutar-balikan fakta hingga pengaburan peristiwa yang membuat setiap generasi ngambang. Mana yang benar dan salah?
Meski Bung Karno menitipkan sesuatu yang sangat berharga, berupa “JASMERAH”, sebagai akronomi “jangan sampai melupakan sejarah”. Tutur sejarah di Indonesia masih bersifat seremonial, bukan kesadaran betapa pentingnya sejarah sebagai penyambung lidah masa lampau terhadap masa akan datang.
Piranti jejak-jejak ini sebenarnya perlu kita rekam ulang. Kaji kembali. Karena menulis sejarah perlu disertai bukti-bukti konkrit sesuai konteks sejarahnya masing-masing. Kalau tidak, kita akan dihadapkan pada sebuah pilihan, yaitu, kacamata masa depan menjadi buta? Pun meraba-raba dalam kegelapan saja masih membutuhkan kejelian dan kehati-hatian untuk terhindar dari mara-bahaya apa saja yang bisa menimpa diri kita. Apalagi dalam kebutaan.

Budaya Indis?
Sejak lama sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia. Orang India, Cina, Arab, dan Portugis telah hadir di pulau Jawa. Masing-masing membawa kebudayaannya sendiri. Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang. Tetapi kemudian menjadi penguasa di Indonesia (Soekiman, 2011: 1).
Kekuasaan negeri kincir angin tersebut mungkin tidak akan pernah bisa pudar dari ingatan kita. Tiga setengah abad adalah waktu yang begitu berat dan panjang memikul beban kesengsaraan tak ber-prikemanusiaan.
Di satu sisi, betapa kejam adikuasa sebuah negeri (Eropa) yang sudah berintelektual tinggi: ketika ilmu pengetahuan tak lagi berpijak pada tempatnya sebagai tonggak yang dapat menjungjung nilai-nilai perikemanusiaan. kekuasaan memang dapat membungkam semua tatanan apapun: etika, moral, logika, serta nurani-nurani murni dan suci.
Di sisi lain, ada cerminan positif bisa kita rasakan hingga saat ini. Datangnya bangsa-bangsa Eropa ke tanah air, ialah; terjadinya kontak budaya, seperti ditegaskan oleh Rob Nieuwnhuys, menurutnya, jalinan erat semacam ini digambarkan seolah-olah terdapat osmose dan pertukaran mental di antara orang Jawa dan Belanda, yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan sebaliknya. Kesejahteraan dan peningkatan status seseorang menuntut perubahan gaya hidup, tampak dalam hal penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kepercayaan/agama, dan sikap lebih menghargai waktu (Soekiman, 2011: 6).
Cara-cara di atas telah melahirkan pertukaran budaya: budaya campuran atau disebut “Budaya Indis” lebih tepatnya. Kata “Indis” dalam tulisan ini berasal dari bahasa Belanda “Nederlandsch Indie” atau (Hindia-Belanda), yaitu nama dari jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie. Wilayah ini biasanya disamakan dengan satu wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsh West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Namun sebenarnya berbeda, oleh karena itu namanya sedikit dibedakan. Penggunaan istilah gaya Indis dalam pembahasan ini dikhususkan pada kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pendukungnya yang terbentuk semasa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia khususnya di Jawa.

Jejak Budaya Indis Tetap Lekat Di sekitar Kita
            Menurut para antropolog, ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal dan dimiliki oleh semua bangsa di dunia, di antaranya: 1) Bahasa,2) Peralatan dan perlengkapan hidup (pakaian, rumah, senjata), 3) Mata pencarian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi), 4) Sistem kemasyarakatan (organisasi politik, sistem perkawinan, sistem hukum, dll), 5) Kesenian (seni rupa, sastra, gerak, suara dsb), 6) Ilmu pengetahuan, 7) Religi.
            Ketujuh unsur ini, betapa dekat dengan kehidupan kita. Bahkan keseharian kita tidak terlepas dari apa yang terpapar di atas. Kita pun juga bisa melacak jejak-jejak Budaya Indis, apakah masih ada atau tidak saat ini?
            Mari kita bahas, mulai dari berapa ribu serapan bahasa Belanda masuk kamus bahasa Indonesia? Berapa banyak sisa arsitektur (bentuk bangunan-bangunan rumah tua bercorak negeri kincir angin/Belanda) yang masih utuh dan terpakai? Lalu, kita amati darimana asal-usul cara berpakaian kita di kantor maupun di sekolah (celana, baju, minyak rambut/gaya rambut, ikat pinggang yang rapi dan bersih), cara makan yang mulanya dengan tangan (diganti sendok-garpu menjadi trend baru), cara bercocok tanam dengan pengairan irigasi, cara politikus bermain petak-umpet, pesta perkawinan (full hiburan), pola hukum bangsa kita, maraknya aliran-aliran musik Eropa, pertukaran pelajar lintas Negara, hingga pemahaman religiutas dan filsafat hidup serta kedisiplinan tehadap waktu: semua ini bukankah juga bagian betapa besar pengaruh yang bisa kita telisik, bahwa Budaya Indis masih begitu lekat dengan keseharian cara hidup kita?
            Bukti-bukti ini, hendakkah kita acuhkan? Atau kita malu untuk mengakui? Tentu, tak ada yang salah, ketika sesuatu yang baik kita adopsi dengan baik pula. Akulturasi (percampuran) budaya tetap akan terus terjadi hingga kapanpun dan dimanapun kita hidup. Globalisasi sudah pasti pula akan terus menggerus peradaban manusia. Tak terhindarkan.
            Semakin canggih teknologi, semakin dekat jembatan dunia kehadapan kita. Global village (desa mendunia): wacana ini sengaja diusung demi rumus peradaban, yakni sama-rata. Sama-sama merasakan. Desa-kota tak ada beda.
Kebudayaan apapun pada awalnya lahir dengan tujuan membawa risalah “kebaikan”. “kebaikan semata” inilah tujuan paling utama dan berharga dari hasil cipta sesama manusia. Namun, setiap individu-individu lain kadang menerima tanpa melihat bahkan lupa bahwa dalam diri kita juga memiliki nilai cipta, rasa, dan karsa yang tidak kita ketahui kemana arah memulai langkah sebagai mahluk khalifah Tuhan paling sempurna???


Bangkalan, 17 Maret 2013

Komentar

Postingan Populer