KORAN LOKAL: SASARAN EMPUK PENULIS MUSIMAN l RADAR MADURA, JAWA POS
Di tanah kemarau panjang,
bila,
musim hujan telah datang:
semerbak tanah harapan;
mekar, indah, nan sesentuhan
bebayang perempuan.
Ada anggapan
penulis itu merupakan orang-orang pilihan dengan berbagai karunia kelebihan.
Istilah Lasa Hs; Penulis atau pengarang adalah profesi yang terhormat, dan
tidak semua orang mampu meraih posisi ini meskipun dari kalangan terpelajar. Ia
menambahkan, betapa banyak orang yang telah menyusun karya akademik seperti
tugas akhir, skripsi, tesis, dan disertasi, namun setelah itu tidak menulis
lagi. Mereka menulis karena faktor keterpaksaan dan bukan karena kesadaran.
Mungkin terlalu
basi mempersoalkan wacana ini. Tapi sering pula pikiran ini datang secara
tiba-tiba. Tanpa diundang, sulit pula diabaikan: melihat beberapa kawan terus
memperdebatkan muatan koran lokal, lalu
berbagai anggapan muncul ke permukaan sebagai pemicu bahan renungan. Barangkali
renungan untuk kita bersama.
Lagi-lagi sastra
koran lokal sebagai dialog budaya di daerah, sejauh ini; secara muatan bobot
karya, apakah bisa dipertanggung jawabkan? Atau asal karya penulis baru,
dicemplungkanlah tulisan itu? Jalan ini dipilih agar setiap edisi pemuatannya
juga memiliki warna baru. Begitu sebaliknya, penulis-penulis yang sudah mapan,
dengan mudah karya mereka terpampang di kolom yang sudah tersedia di setiap
edisi mingguannya. Dilema, dan sukar diraba jawabannya?
Leo Tolstoy,
Najib Mahfudz, Kitami Masao; sircuit kepengarangan
mereka tercipta dari kondisi, di mana di tengah-tengah mereka penuh onak-duri,
terlahir dari gigil getir, penuh ancaman dari kelas sosial juga kekuasaan.
Indonesia pun
memiliki jejak yang mungkin sebagian orang sudah melupakan atau sengaja
pura-pura lupa, bahwa, Orde Baru telah menjungkar-balikkan sejarah kesusastraan
kita: Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, bahkan penyair Wiji Tukul yang lenyap
di tengah huru-hara kritikan-kritikan pedasnya soal buruh kita yang hingga kini
tidak pernah menemui ujung pangkal keadilannya.
Bila
membanding-bandingkan penulis yang sudah memiliki nama dengan penulis pemula.
Bagaimana bentuk apresiasi kita terhadap wacana ini? Hemat saya, pertama, yang salah yang tidak berkarya
dan memposisikan diri sebagai kritikus sastra dengan melakukan penghakiman
‘sastra yang baik begini, sastra yang buruk begitu’, seraya mengacungkan
telunjuk tinggi-tinggi dengan modal bacaan apa adanya. Kedua, berkarya, tapi sebagai pengarang musiman. Pengarang-pengarang
ini hanya ikut-ikutan karena terdorong lingkungan sekitar untuk menyemarakkan ajang
tampang, tampang pribadi maupun tampang komunitas, agar di setiap edisi kolom
sastra, nama-nama tersebut selalu ada. Ketiga,
tercipta persaingan kurang sehat yang secara tidak sengaja maupun sengaja, media
lokal lebih mengedepankan penulis baru tanpa selektif terhadap bobot suatu
karya. Hal ini menjadi sasaran empuk
para pengarang yang ingin coba-coba ‘siapa tahu dimuat’? Maka yang Keempat, akibatnya, lahirlah tradisi saling
cemooh terhadap karya lain yang dianggap tidak se-alir dengan komunitas
masing-masing.
Dampak ini, barangkali menjadi tolak ukur dan bahan pertimbangan
mendasar bagi setiap koran lokal yang selalu memunculkan penulis-penulis baru
atau pun komunitas baru. Di kesempatan lain, di belakang layar, di belakang
kekurangan; koran lokal sebagai ladang media dari ribuan penulis pemula maupun
ternama, kita masih bisa menaruh harapan tanpa memanfaatkan kepentingan dan
mengacuhkan kekecewaan publik sastra, bahwa sastra yang baik bukan terletak
pada usia tua-muda, pemula dan ternama, tapi yang membedakan menurut Budi Darma:
mana yang menulis sungguh-sungguh dengan menulis pura-pura? Perbedaan ini dapat
diandaikan dari mana sebaiknya orang menarik kereta: menaruh kuda di belakang
kereta agar kuda tersebut mendorong kereta, atau menaruhnya di depan kereta
agar kuda tersebut sanggup menarik kereta?
Al-hasil-----Siapa
yang patut dipersalahkan, bila beragam persepektif mencuat: cibir sana, cibir
sini, entah kemana cibiran ini tertuju? Pada pengarang yang dianggap tidak
sejalan pemikiran, penyepelean bobot suatu karya, hingga anggapan tidak jelasnya
muatan sastra koran lokal yang tampak acak-acakan, hingga berbuntut menjamurnya
pengarang musiman.
Bila sastra sudah
ditukar-ditakar berdasarkan kesepakatan selera tertentu. Jangan harap, publik
sastra kita sampai ke berbagai semua lapisan terkecil masyarakat. Sebab,
masyarakat kita masih menuju taraf belajar baca yang baik dan benar. Dan hidup
dalam wacana yang digiring politik massal.
Bangkalan, Desember 2012









Komentar